Transkrip Episode 7 Podcast Jaringan Etnografi Terbuka
Transkrip Podcast JET Episode 7 Obrolan tentang Etnografi Digital – Wawancara dengan Annisa Beta, bagian 2
00:00:07 Tito Ambyo
Halo dan selamat datang atau selamat datang kembali di podcast Jaringan Etnografi Terbuka. Sebuah ruang diskusi dan belajar tentang etnografi dan penjelajahan etnografi sebagai pendekatan yang terbuka dan kolaboratif. Saya Tito Ambyo dari RMIT University di Naarm, Melbourne, Australia. Dan bersama kita akan menyelami berbagai aspek etnografi terbuka. Episode ini adalah bagian kedua dari percakapan kita dengan Annisa Beta tentang etnografi digital. Di episode sebelumnya kita telah membahas kenapa etnografi digital adalah kebutuhan untuk memahami Indonesia kontemporer. Dan bagaimana kerangka berpikir “Embedded, Embodied, dan Everyday” dari Christine Hine bisa mengubah cara kita memandang teknologi internet dan teknologi digital lainnya.
Hari ini kita akan mendalami aspek yang lebih praktis dan kritis dari etnografi digital. Annisa akan berbagi pengalaman menghadapi tantangan-tantangan nyata di lapangan mulai dari masalah etika penelitian, navigasi kompleks relasi kuasa antara peneliti dan yang diteliti. Kita juga akan mendengar tentang berbagai dilema yang dihadapi oleh seorang etnografer digital. Bagaimana menangani situasi ketika informan meminta tolong untuk hal-hal yang di luar kapasitas kita sebagai peneliti. Bagaimana menjaga batas antara peran sebagai peneliti dan sebagai aktivis. Dan bagaimana juga mengatasi rasa bersalah ketika kita mengambil pengetahuan dari komunitas namun kemudian kembali ke posisi yang sering dibentuk oleh privilese di universitas-universitas misalnya. Annisa juga akan membahas tentang patchwork ethnography, pendekatan yang mengakui keterbatasan peneliti dan juga mencari cara untuk melakukan etnografi yang lebih realistis dan berkelanjutan. Seperti yang akan kita bahas, etnografi, patchwork ethnography atau etnografi tambal sulam ini membantu kita menata ulang apa yang diperhitungkan sebagai pengetahuan dan apa yang tidak. Jadi episode ini penting bagi siapa saja yang tertarik melakukan etnografi atau etnografi digital dengan cara yang lebih etis dan reflektif. Selamat mendengarkan.
00:02:41 Tito Ambyo
Mungkin, tadi kita udah menyentuh ini juga sih, bahwa banyak yang, ya mungkin bukan banyak, tapi kan kayak kelas-kelas antropologi gitu, misalnya. Bukan cuma di Indonesia tapi di tempat-tempat lainnya juga, tuh, kayak yang kalau etnografi tuh harus kayak Bronislaw Malinowski, gitu kan. Ketika dia ke West and Pacific dan tinggal di kampung dan udah gitu kayak going native, gitu kan. Tapi, kalau kita lihat sebenarnya ini kan, apa ya, itu ada sejarahnya juga gitu kan. Bagaimana sejarah antropologi dan sejarah etnografi tuh dulunya itu orang-orang kulit putih datang ke tempat-tempat ya kayak ke Indonesia dan kemudian tinggal dengan kita dan berusaha mengerti budaya kita. Dan, sedangkan, ini yang mau kita tawarkan dari etnografi digital, dari ya juga Jaringan Etnografi Terbuka, itu mungkin ya kita bisa lah pendekatan etnografi tuh nggak usah sangat maskulin gitu: Sangat “Wah, gue mau ke kampung mempelajari budaya orang gitu kan. Dan gue akan keluar dari kampung itu dengan pengertian tentang budaya ini.” Menurut lu gimana?
00:04:05 Annisa Beta
Gue akan menjawab dari kacamata orang yang di akademisi juga kali ya. Yang namanya gagasan peneliti ideal itu emang ada di setiap disiplin. Dan itu bukan hal baru, gitu ya. Dan biasanya yang ideal itu adalah si pendiri disiplinnya. Antropologi, sosiologi, termasuk di bidang gue, Cultural Studies. Khususnya mengenai antropologi dan sosiologi dan banyak disiplin yang lebih konvensional memang selalu yang ideal ini digambarkan awalnya laki-laki, maskulin pasti. Lalu biasanya dia kulit putih Eropa atau Amerika, gitu ya. Dan pasti hyper educated, sangat berpendidikan. Dan juga kelas atas, kita harus ingat ini, ya. Bahwa mereka bisa melakukan semua itu karena usually mereka punya cukup uang untuk bereksperimen dan melakukan apa yang mereka lakukan lah gitu. Dan tadi lu bilang juga ini berkelindang dengan sejarah kolonialisme, yang obviously gak semua orang bisa travel seenaknya ke satu tempat. Bahkan peasants di Eropa kan juga sebenarnya hidupnya gak seperti itu, gitu ya. Jadi, ada class difference yang harus kita pahami juga. Dan dari situ kan sebenarnya class consciousness kita ketika kita ngeliat sekarang harusnya terpancing gitu, ini kenapa begitu? Dan siapa sih sebenarnya yang bisa sebulan, tiga bulan di kampung orang nggak ada orang tua, nggak ada keluarga. Siapa yang bayarin lu hidup gitu kan?
00:05:27 Tito Ambyo
Dan bukan lagi kalau misalnya lu harus ngurusin anak, ngurusin keponakan.
00:05:31 Annisa Beta
Ngurusin orang tua kalau masih muda, gitu, misalnya. Jadi, ketika kita mau mikirin gimana sih kita bisa melawan si figur peneliti ideal ini, sebenarnya ya, jawabannya justru kita harus tanya balik ke kondisi kita sekarang, gitu ya. Dan ini menurut gue kenapa, ya, gue percaya banget Jaringan Etnografi Terbuka itu urgent. Tapi, juga untuk ngomongin bentuk-bentuk atau bayangan baru mengenai siapa itu etnografer ideal, gitu ya. Dan itu penting karena ketika kita membicarakan etnografi digital, tadi lu bilang juga banyak orang di Indonesia yang belum begitu paham, isunya adalah peremehan ini terjadi karena etnografi digital sering dianggap mudah. Dan kemudahan ini yang jadi masalah kan? Karena kesannya lu bisa tinggal scroll internet, terus mungkin ngobrol dengan 1-2 users or whatever. And that’s it? Masa sih segampang itu? Jadi pertanyaan tentang bahwa pengetahuan itu harus sulit dan harus asing dan jauh dari yang bisa mengolah pengetahuan itu, itu kan juga sangat kolonial ya? Dan in a way juga sangat maskulin yang agak suka nyakitin diri sendiri gitu. Harus jauh dari hal-hal yang membuat lu ngerasa nyaman, baru lu worth it untuk menciptakan pengetahuan baru, gitu ya. Dan jadi kita harus mendiskusikan ini dengan bertanya gitu: Siapa sih the natural researcher yang kita bayangkan ketika kita memikirkan pengetahuan dan peneliti? Dan tentu kita harus secara keras kepala, gue rasa, untuk bertanya ketika lu bilang mendalami sesuatu, immersion, one of the key principles of etnography, apa itu sih immersion? Apakah ini berarti lu harus benar-benar lepas dari situasi lu sendiri lalu immerse yourself dalam situasi yang beneran baru? Atau sebenarnya apa yang di sekitar lu juga bisa jadi hal yang lu kaji, gitu? Asalkan lu mau misalnya tentu mempertanyakan hal-hal yang lu anggap remeh. Atau hal-hal yang lu anggap udah terlalu sehari-hari, gitu. Dan selain itu juga ketika kita mencoba melawan imaji ideal ini sebenarnya udah ada sih di feminist anthropology untuk bilang bahwa kita harus sepenuhnya sadar bahwa pengetahuan apapun yang kita ciptakan, pada akhirnya, itu pasti partial, cuma sebagian, nggak akan memberikan gambaran penuh sama sekali. Yang tentu ini melawan semua gagasan antropologi 40-an, 60-an yang kayak this is the whole story, ini cerita sepenuhnya tentang komunitas A atau ritualnya suku B gitu. Dan bahwa pengetahuan lu harus kontekstual dan juga apapun yang lu hasilkan pasti spesifik pada waktu, pada situasi politik, sosial, budaya tertentu. Dan lu nggak akan bisa menjelaskan semuanya. Dan kalau kita bisa coba sedikit keras kepala pushing, mendorong ide itu supaya terkenal, sebenarnya ya akhirnya, pada akhirnya memang itu bisa membuka jalan buat orang-orang yang nggak biasa dianggap atau dilihat sebagai peneliti. Karena semua orang sebenarnya punya kan kapasitas itu, menurut gue.
Lu tadinya mau ngomong sesuatu ya?
00:08:43 Tito Ambyo
Nggak, gue juga tadi ini berhubungan banget sama ide etnografi tambal sulam. Kenapa patchwork ethnography. Tapi sebelum kita ke patchwork ethnography, kalau dari gue sih juga mungkin yang dengerin ini bilang: oh jadi ilmu antropologi zaman Geertz, zaman Malinowski itu udah nggak ada gunanya. Nggak juga sih. Karena kan kayak misalnya tadi kan Christine Hine bicara tentang embodied, embedded, dan everyday. Everyday itu kan sebenarnya juga ada kontinuitasnya dengan ide apa yang kata Bronislaw Malinowski bilang, the imponderabilia of everyday life. Jadi, dia bilang bahwa kalau kita mau jadi antropolog itu kita harus meneliti, mungkin, terjemahan paling enaknya apa ya? Nuansa kehidupan sehari-hari gitu. Yang kayak Malinowski itu kan dulu dia ngelihat, oh orang bangun pagi itu gimana sih di Trobriand ini. Terus udah gitu kalau bangun pagi, siapa yang bangun pagi, jam berapa. Hal-hal yang kayak kata lu tadi kan, yang mungkin buat orang-orang itu udah ini remeh-remeh aja, ini kok masa yang kayak gini diteliti, gitu kan. Jadi ada keberlanjutannya juga, gitu kan, bahwa kita masih tertarik dengan yang dulu Malinowski tertarik gitu. Bahwa kita bukan cuma mau meneliti, oh budaya sihir di Trobriand Island itu seperti apa, tapi kayak kehidupan orang sehari-hari itu seperti apa sih? Karena itu masih jadi yang penting gitu kan untuk kita teliti juga.
00:10:22 Annisa Beta
Jadi, maksud Tito, don’t let go of your daddy.
00:10:25 Tito Ambyo
Don’t let go of your daddies.
00:10:26 Annisa Beta
Daddy’s still there. S1 lu antrop ya?
00:10:31 Tito Ambyo
S1 gue antropologi. Dan kalau gue mau mengaku dosa nih, jadi dulu tuh emang gue pengen gitu kan kayak, gue pengen kayak jadi sang pendiri gitu kan. Jadi, pengen jadi, kayak, gue mau ke sebuah desa yang belum pernah dikunjungi oleh orang-orang lainnya. Dan gue pengen kesana untuk mempelajari budaya mereka gitu kan. Sampai gue ngerti, sampai… Tapi, ya, itu gue masih, waktu masih muda lah, ya.
00:10:55 Annisa Beta
Sorry, I’m just wheezing.
00:10:58 Tito Ambyo
Itu perlu, kita juga perlu ini, kan, buat gue, gue merasa beruntung. Untungnya gue kemudian ketemu banyak orang-orang yang bilang, “oh, itu ya oke, lu mau kayak gitu juga boleh,” gitu kan. “Tapi, mungkin lu pikirin juga lah, gimana kolonialisme itu membentuk imajinasi gue,” untuk gue pengen jadi antropolog gitu kan.
Atau ya mungkin di bidang gue yang lainnya, jurnalis gitu kan. Ada yang nganggep, oh jurnalis tuh harus begini, begini, begini. Yang menurut gue juga, “oh, nggak juga sih, banyak macam-macam.” Kalau misalnya kita ke mana-mana juga kan, jurnalis tuh macam-macam juga budayanya gitu. Kayak misalnya gue di Jakarta, gitu kan. Jurnalis Jakarta tuh sering lebih senang berbagi gitu. Kalau misalnya, dan ini ada hubungannya sama yang tadi kita bilang sih. Di Australia itu kan, oh, jurnalis tuh saingan banget. Kalau misalnya gue kerja untuk Channel 7, lu kerja untuk Channel 9, kita nggak akan berbagi, untuk misalnya gue punya rekaman, gue nggak akan kasih, gitu kan. Tapi, kalau Jakarta kan kayak, ya, lu kan Jakarta Utara, gue Jakarta Selatan ya, ayo kita ganti-gantian gitu, kita berbagi, gitu kan. Jadi, bahkan yang kayak gitu kan, oh, antropologi kita bisa melihat kehidupan sehari-hari orang yang dianggap remeh-temeh itu, yang bisa kita pelajari. Nah, gue jadi ngomongnya ke mana-mana, nih.
Sebelum bicara tentang patchwork ethnography ini, ada satu pertanyaan yang gue pengen nanya, mungkin buat yang dengerin ini, mungkin pertanyaan itu sangat, apa ya, gue pengen bikin etnografi digital nih, tapi, secara praktiknya gimana? Dan mungkin salah satu pertanyaan paling penting itu, gimana sih kita menentukan batasan penelitian kita, gitu kan? Kalau misalnya antropologi, etnografi ke kampung gitu kan, oh, gue meneliti kampung ini. Kalau digital itu gimana? Gimana kita menentukan field kita itu?
00:12:44 Annisa Beta
Oke, mungkin ada baiknya juga gue sedikit ngasih konteks bahwa, ketika etnografi digital ini muncul, satu hal yang ada perkembangan yang menarik banget di antropologi dan etnografi, yaitu tulisannya George Marcus, kalau lu udah baca, To? Tentu lu udah baca. Multi-sited ethnography. Sorry, that was annoying of me. I’m just gonna repeat it.
Multi-sited ethnography dari George Marcus, gitu ya. Dan satu hal yang dia tawarkan sebenarnya ‘follow the’: Apa yang lu ikuti? Jadi ketika kita ngomongin field, ketika kita ngomongin lapangan, buat gue dan pengalaman gue, akan lebih berguna kalau lu mulai dengan isu. Isu apa sih yang, fenomena apa yang menarik buat lu?
Buat gue sendiri, di dua proyek etnografi besar yang udah gue jalankan, isu yang pertama yang menarik buat gue, karena gue datang dan lahir dan besar di keluarga yang agama Islam itu memiliki peran yang berubah-ubah, gitu ya. Jadi, gue tertarik dengan, gimana sih kok orang jadi lebih visibly pious, orang jadi terlihat lebih soleh, terutama perempuan muda, orang-orang yang seperti gue. Jadi, itu datang dari personal interest, dan juga hal yang gue observasi di masyarakat, gitu ya. Dan pada saat yang bersamaan, dan gue beruntung, gue nyelesaikan S3, gue punya kesempatan untuk lanjut, gitu ya, di kerjaan riset ini, gue melihat bahwa, ketika gue kurang tertarik, mulai hilang minat gue dengan isu agama, dengan berbagai alasan, gue melihat ada, peningkatan atau minat di feminisme di antara teman-teman muda, gitu ya. Jadi, buat gue isu menjadi penting, dan tadi kalau mungkin, diperhatikan juga, apa yang menarik buat gue, jadi penting. Gue sendiri cukup beruntung, melakukan penelitian, nggak pernah lepas dari minat pribadi gue, gitu ya. Dan jadi buat gue, follow the issue is my thing.
Dan karena itu, field gue tidak terbatas, pada yang kita bayangkan sebagai lokasi. Lokasi itu apa sih? Misalnya, kayak, oh Jakarta, atau sekolah, atau misalnya, Instagram, atau YouTube platform aja. Buat gue, lokasi gue, site gue, field gue adalah social media platforms, messaging juga, gue actively messaging with them. Interview, I do interview, karena berarti gue harus ke Jakarta, dan ngobrol sama mereka, misalnya. I do discussions with them, yang didesain sebagai focus group discussion ataupun hanging out, gitu ya, beneran nongkrong sama mereka di events, atau ngopi, segala macam. Terus, I do archival works as well, gue juga ke perpustakaan, ke tempat-tempat dimana arsip-arsip yang gue rasa penting itu ada. Terus, gue juga collect ephemera. Ephemera itu kayak maksudnya, hal-hal yang mungkin dianggap nggak penting, kayak stiker, atau selebaran-selebaran, yang mungkin berguna nantinya. Karena kan namanya, etnografi itu, bagian kedua dari etnografi, graph, adalah menulis, kan. Ketika lu menulis, lu nggak tahu sebenarnya, at that moment, apa yang penting. Tapi kadang, ketika lu lihat ke belakang, itu bisa jadi penting.
Jadi, buat gue, field itu udah tidak bisa didefinisikan secara tradisional lagi, bukan lagi sekedar kampung, atau ada physical limit, gitu ya, ataupun secara digital yang mungkin agak konvensional juga, gitu, platform tertentu atau media tertentu aja. Jadi, buat gue, follow the issue itu lebih penting, daripada menentukan batasan-batasan, yang menurut gue, toh sebenarnya kalau lu hangout banyak dengan etnografer, lu tahu etnografi yang baik itu kan, etnografi yang porous, yang unplanned, dan messy.
00:16:30 Tito Ambyo
Ya, dan dari tadi, kata yang muncul di pikirian gue itu, ya, messy, gitu kan, berantakan emang.
00:16:37 Annisa Beta
Right. Jadi, daripada bertanya lapangan gue itu apa, atau field gue itu apa, buat gue pertanyaan yang penting adalah, how far are you willing and able to go? Jadi seberapa…
00:16:53 Tito Ambyo
How much time you have.
00:16:55 Annisa Beta
Exactly. How much are you able to go? Jadi, sejauh mana lu mau dan mampu. Karena kan kemampuan ini tentu dibatasi banyak hal juga. Different times, pendidikan, segala macam, gitu ya. Jadi, mungkin juga nge-quote lu di Ubud “to sit with the discomfort” juga. Kadang kan perencana berubah, dan lu juga nggak tahu apa yang akan terjadi, ketika lu melakukan proses etnografi tersebut.
00:17:19 Tito Ambyo
Ya, dan mungkin disini penting membangun jaringan, ya. Biar ada teman-teman buat ngobrol, gitu kan. Kalau misalnya, apalagi kan, ya kalau misalnya kita punya ide yang beda dengan dosen pemimbing, misalnya kan, itu bakal jadi, ya tantangan juga gitu. Gimana kita menavigasi apa yang dosen pemimbing kita mau, tapi juga apa yang menurut lu paling penting buat penelitian ini. Dan juga, seberapa banyak waktu yang lu punya.
00:17:45 Annisa Beta
Iya. Dan mungkin di luar konteks pendidikan, dosen pemimbing, juga kadang kalau teman-teman aktivis atau teman-teman community workers, kita juga harus bertanya, apa sih yang donor kita mau? Dan mungkin, ada hal-hal yang juga lu bisa pikir lebih lanjut. Bukan berarti, harus produktif banget, tapi juga bukan berarti nggak bisa mempertanyakan ini penelitian kita mau sejauh mana.
00:18:07 Tito Ambyo
Ya, dan juga mungkin salah satu yang pernah gue, nasihat dari kolega di RMIT, Annette Markham, yang dia bilang tuh, kalau penelitian lu kerasanya terlalu kecil, itu berarti belum cukup kecil. Jadi, kayak, kadang-kadang kita juga harus mikir, “gue harus lebih spesifik lagi kayaknya, mengikuti isu apa,” yang, kayak, misalnya, tadi lu bilang, stiker, gitu kan. Gue dari dulu tuh pengen, meneliti stiker-stiker di, stiker punk di Bandung, gitu kan. Di gerobak-gerobak, terus ada stiker-stiker. Itu kan sebenarnya kalau kita meneliti satu hal, kita ikutin gitu, dunia akan terbuka gitu. Banyak banget yang bisa kita pelajari. Tapi, mungkin kita agak, keluar dari etnografi digital. Ini lebih etnografi ini.
Tapi, mungkin yang berhubungan lagi, tadi yang tadi kita, yang tadi gue bilang itu etnografi tambal sulam, patchwork ethnography. Mungkin, patchwork ethnography dan digital etnografi, itu bukan hal yang sama, ya. Tapi, muncul di saat yang bersamaan. Patchwork ethnography tentunya muncul baru-baru ini. Dan ini ada kutipan agak panjang. Tapi kayaknya gue bakal baca semua nih. Jadi, ini dari manifesto etnografi tambal sulam:
“Etnografi tambal-sulam menawarkan sebuah cara baru untuk mengetahui dan mengakomodasi bagaimana kehidupan peneliti dalam kompleksitas utuhnya membentuk produksi pengetahuan. Dalam proses itu, kami berpendapat bahwa pengetahuan antropologis itu sendiri yang harus diubah bentuk. Etnografi tambal-sulam membantu kita menata ulang apa yang diperhitungkan sebagai pengetahuan dan apa yang tidak, apa yang diperhitungkan sebagai penelitian dan apa yang tidak, dan bagaimana kita dapat mengubah wujud realitas yang telah digambarkan pada kita sebagai “batasan-batasan” dan “hambatan-hambatan” bagi terbukanya wawasan-wawasan baru.”
Apa yang terpikir dari otak lu, ketika dengar tentang patchwork ethnography ini?
00:20:19 Annisa Beta
Buat gue, patchwork ethnography sebenarnya gue udah cukup banyak belajar mengenai itu, karena Ben Hegarty juga memperkenalkan ke gue dan menarik banget. Dan gue sangat setuju dengan semua premisnya. Dan buat gue, patchwork ethnography sangat terkait dengan digital etnografi juga. Terutama dalam hal gimana, yang tadi kita bahas kadang, ada bagian atau ada kritisisme mengenai etnografi digital, bahwa dia kurang sahih. Tadi kita sudah bahas juga, karena dianggap lebih mudah. Tapi, itu kan yang didorong sama patchwork ethnography, bahwa researcher juga harus dimudahkan hidupnya. Bukan untuk kemudian mengurangi rigour, bukan untuk kemudian tidak mendalami apa yang lo mau teliti. Tapi, kritiknya adalah untuk mempertanyakan, ketika misalnya tadi kita cerita tentang etnografer yang ke kampung atau ke komunitas yang dia tidak ketahui, itu kan ada batasan yang sangat jelas antara rumah lo di mana dan field lo di mana. Dan itu yang tradisional yang dianggap sempurna, yang akhirnya kita tahu cenderung hanya bisa dilakukan sama orang-orang maskulin, yang nyaman ninggalin keluarganya. Nggak semua laki-laki juga bisa ninggalin keluarganya begitu aja. Tapi orang-orang yang punya privilege untuk bisa ninggalin rumah. Nah, etnografi digital dan patchwork ethnography pada prinsipnya mempertanyakan, kenapa sih harus dipisahin? Dan itu kan yang sebenarnya tadi awal banget lo bilang, ya buka komputer aja bisa dapat apa sih? Tapi, that’s the idea, isn’t it? Kenapa lo harus mempersulit proses lo mencari pengetahuan dan mengkaji hal yang menarik buat lo. Bahwa sebagian dari etnografi digital lo bisa lo lakukan hanya dengan buka komputer atau dengan main HP. Apa sih yang salah dengan itu? Bahwa lo ada di situasi yang aman, nyaman, di rumah mungkin, dekat dengan keluarga lo, orang tua, anak, atau siapapun yang lo harus urusin. Sehingga lo nggak perlu setiap kali ke lapangan lo harus hilang setahun. Siapa sih yang bisa lakuin itu sebenarnya? Dengan nggak cuma kondisi perbedaan gender, tapi dengan kondisi funding yang sangat precarious sekarang di Indonesia maupun di Australia.
Dan cara kita mengakomodasi ini jadi sangat penting karena buat gue ada potensi untuk memikirkan bagaimana patchwork ethnography, etnografi tambal sulam, atau digital etnografi, dan digital etnografi, itu sebenarnya bisa dipakai dan dimanfaatkan sama teman-teman di Indonesia yang cenderung over researched, yang terlalu banyak diriset sama orang lain, tapi mereka sendiri nggak pernah meriset atau tahu apa sih etnografi sebenarnya. Jadi buat gue ada potensi di etnografi digital dan etnografi tambal sulam untuk diperkenalkan ke teman-teman yang biasanya nggak punya waktu untuk paham itu etnografi. Karena mereka kerja, atau karena mereka community organizer, atau mereka kerja di NGO. Dengan, misalnya, prinsip patchwork ethnography yang dipermudah, tidak harus ada di satu tempat lama. Lebih banyak orang kan jadi bisa menjadi seorang peneliti, menjadi seorang etnografer. Dengan etnografi digital yang lu buka HP, mendalami, lu bisa paham, itu kan juga lebih banyak orang lebih memahami ada apa sih yang terjadi di dunianya.
Tapi tentu kritik akan datang dan bilang kalau: is that knowledge? Apakah itu pengetahuan? Kayaknya kerja lu, gue, dan teman-teman lain di JET, untuk kemudian bilang “iya, itu pengetahuan.” Dan semua orang punya hak dan akses ke pengetahuan yang sama. Baik membaca, mengkonsumsi, maupun menciptakan, memproduksi.
00:24:09 Tito Ambyo
Karena mungkin selama ini kita lebih banyak dibaca, ya? Karena kita lebih banyak diteliti. Karena kalau kita lihat lagi memang pada dasarnya Jaringan Etnografi Terbuka, etnografi digital, dan juga etnografi tambal sulam ini yang kita lakukan adalah menantang produksi pengetahuan yang selama ini ada.
Jadi, kayak tadi dikutipan itu, bagaimana kehidupan peneliti dalam kompleksitas utuhnya membentuk produksi pengetahuan. Nah, ini kan kayak misalnya gue kenal juga beberapa teman yang PhD-PhD tapi terus udah gitu, harus, ibunya sakit atau apa, harus berhenti. Sedangkan, kita dengan metode etnografi digital, dengan juga teori-teori dari patchwork ethnography ini, kita bisa bilang, “oh, nggak usah berhenti.” Tapi kita bisa cari caranya gimana sih kita bisa, orang yang nggak punya waktu tetap bisa meneliti juga.
00:25:12 Annisa Beta
Iya, dan kalau sempat nanti teman-teman baca manifestonya, atau wawancara pendirinya gitu, hal yang mereka juga tekankan adalah apa yang mereka bilang, making the seams visible, tambal sulam. Jadi, membuat sulamannya semakin kelihatan daripada nggak. Maksudnya adalah bahwa tadi misalnya di contoh lo, bahwa lo PhD, terus ibu lo sakit, atau orang terdekat lo ternyata nggak bisa ditinggal, intinya. Sebenarnya itu bagian penting dari gimana lo menciptakan pengetahuan. Dan untuk bilang ke pembaca lo, atau siapapun yang nanti tertarik dengan penelitian lo, bahwa nggak semudah itu menciptakan pengetahuan. Dengan berbagai halangan, ketidakmampuan kita, secara fisik maupun mental untuk menjalankan penciptaan pengetahuan ini secara sempurna.
Sebenarnya penciptaan pengetahuan tidak pernah sempurna, kan? Tapi yang sering terjadi adalah ada penutupan itu semua. Terutama di peneliti laki-laki zaman dulu. Sampai ada pertanyaan kayak, siapa sih yang sebenarnya bikin makanan buat Marx atau buat Adam Smith? Kok dia bisa duduk dalam satu ruangan mikir berhari-hari?
Jadi, kan, itu pertanyaan-pertanyaan yang membuat tambal sulamannya, sulamannya semakin kelihatan. Dan seharusnya kita nggak perlu malu. Apalagi dengan lebih banyak peneliti perempuan, peneliti queer, peneliti yang mungkin datang dari keragaman latar belakang. Nggak semua orang kaya, nggak semua orang ngerti kenapa lo harus neliti lama. Dan untuk lo bisa ngeliatin itu, itu membuat orang lain jadi lebih terbuka dan nggak takut sama pengetahuan.
00:26:53 Tito Ambyo
Ya, dan mungkin kalau balik lagi ke Malinowski nih. Mungkin yang dengerin, juga pernah baca tentang gimana… Sekarang kita tahu Malinowski sebenarnya waktu penelitian itu mikirnya apa aja. Karena buku hariannya udah diterbitkan. Dan ada jurang yang sangat besar. Antara yang dia tulis dan yang dia pikirkan. Dan banyak yang sangat problematik dari cara dia berpikir yang nggak nongol di penelitian dia. Dan ini yang mungkin kita bisa mulai, “oh, iya, Malinowski itu dia juga manusia.” Dia juga ada tambal sulamnya ini yang selama ini nggak kelihatan. Sampai kita bisa ngeliat, oh ternyata ini tuh yang dia pikirin dari buku hariannya segala macam. Jadi, mungkin kita juga, buat gue juga penting untuk kita bisa mulai melawan itu. Bahwa banyak peneliti-peneliti yang dulu meneliti Indonesia. Mereka bisa meneliti Indonesia karena ada funding buat ke Indonesia 2 tahun untuk meneliti. Tapi juga ada struktur di balik produksi pengetahuan itu kan yang seringkali nggak kelihatan.
Terakhir, kalau sekarang ini kita udah bicara tentang etnografi digital. Kalau ada mahasiswa yang mau mulai penelitian etnografi digital, apa yang akan lu bilang ke mereka?
00:28:29 Annisa Beta
Tiga hal yang akan gue bilang.
Pertama, jangan anggap enteng apa yang lu lihat online. Jadi mulai dengan sensibilitas bahwa apa yang terjadi di digital, apa yang terjadi secara online itu penting. Sama pentingnya dengan apa yang lu lihat di dunia nyata.
Kedua, biasain mengarsip apa yang lu lihat secara online atau digital. Kita semua tahu apa yang kita lihat online itu kan sangat ephemeral, sementara. Dan sebenarnya itu ada baiknya karena memang itu dalam arsitektur digital, arsitektur internet memang dibuat seperti itu. Tapi berlatih untuk mengarsip itu sebenarnya latihan yang penting juga untuk seorang etnografer. Banyak caranya, screenshots, bisa web archive, dan berbagai macam teknologi dan alat yang bisa lu pakai. Tapi poinnya adalah biasakan mengarsip apa yang lu lihat, yang lu anggap penting. Karena itu nanti jadi hal yang akan lu lihat kembali. Dan hal itu menurut gue jadi penting karena lu juga jadinya mendefamiliarisasi diri lu dengan apa yang lu lihat sehari-hari. Kalau lu arisipin kan sebenarnya kadang yang kita lihat seminggu lalu itu sebenarnya nggak akan terjadi di minggu ini lagi. Dan itu yang harus dilatih, gitu ya. Kebiasaan untuk penasaran, ingin tahu, dan menyimpan.
Dan selain itu yang paling penting sebenarnya adalah untuk keeping field notes. Itu yang membedakan etnografi dengan berbagai metode lain. Gue orangnya notetaker banget. I take very rigorous notes for everything. It’s not the cheapest thing to do in life. Tapi, mencatat itu penting dengan alat apapun yang lu punya. Karena yang membedakan etnografi dengan metode lain, digital ataupun konvensional sebenarnya adalah kemampuan lu untuk mencatat dan bercerita kembali. Jadi, biasakan mencatat dan suatu hari lu jadi storyteller tentang apa yang lu lihat.
00:30:31 Tito Ambyo
Ya, dan kita sering dengar kenapa peneliti-peneliti yang setelah puluhan tahun meneliti tentang sesuatu, kemudian mereka lihat lagi field notes mereka waktu mulai, itu jadi bagian their own story, penelitian mereka. Jadi, jangan anggap enteng, terus belajar mengarsip dan juga belajar mencatat.
Terima kasih banyak, Annisa. Ada lagi yang mau ditambahin?
00:30:59 Annisa Beta
Itu aja, Tito.
00:31:00 Tito Ambyo
Terima kasih banyak.
00:31:01 Annisa Beta
Thank you.
00:31:09 Tito Ambyo
Terima kasih telah mendengarkan bagian kedua dari obrol-obrol kita dengan Annisa Beta tentang etnografi digital. Dari diskusi hari ini, ada beberapa refleksi penting yang patut kita renungkan.
Pertama, etnografi digital membawa tantangan etika yang kompleks. Kedekatan yang tercipta melalui media sosial dapat mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional, antara peran sebagai peneliti dan sebagai teman. Kita perlu mengembangkan sensitivitas untuk mengenali kapan kita diminta bantuan yang melampaui kapasitas kita sebagai peneliti.
Kedua, etnografi tambal sulam patchwork ethnography menawarkan alternatif untuk tradisi etnografi yang mengharuskan peneliti “hilang” selama bertahun-tahun di lapangan. Pendekatan ini mengakui realitas kehidupan peneliti yang memiliki tanggung jawab lain – keluarga, pekerjaan, keterbatasan finansial – sambil tetap mempertahankan kedalaman etnografis.
Ketiga, teknologi digital memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan komunitas penelitian dalam jangka panjang. Hal ini menciptakan peluang untuk hubungan yang lebih berkelanjutan, namun juga tanggung jawab untuk mempertahankan relasi tersebut dengan cara yang bermakna.
Keempat, reflektivitas adalah salah satu kunci pembuka pintu kesuksesan dalam etnografi digital. Kita perlu jujur tentang posisi kita, kita perlu jujur dalam mengakui keterbatasan kita, dan terus mempertanyakan dampak kehadiran kita dalam komunitas yang kita teliti.
Dan yang terakhir, etnografi digital di Indonesia masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Seperti yang dikatakan Annisa, kita perlu lebih banyak riset tentang budaya digital Indonesia, dan juga perlu mengembangkan pendekatan metodologi yang sesuai dengan konteks lokal.
Kalau kamu tertarik melakukan etnografi digital, ingat juga bahwa ini bukan sekadar tentang penggunaan teknologi, tetapi tentang memahami bagaimana teknologi membentuk dan dibentuk oleh hubungan sosial yang tidak sederhana.
Terima kasih kepada Dr. Annisa Beta yang telah berbagi pengalaman dan refleksi yang sangat berharga dengan kejujuran yang luar biasa di dua episode ini.
Jangan lupa berlangganan dan bagikan episode ini kepada teman-teman yang tertarik dengan etnografi digital dan metodologi penelitian yang reflektif. Dan kalau ada waktu, ayo ngobrol lewat Instagram – beritahu kami apa yang kamu pengen diskusikan tentang etnografi, karena kami hampir kehabisan episode, jadi, silahkan berikan kami ide-ide.
Untuk informasi lebih lanjut tentang Jaringan Etnografi Terbuka, kunjungi website kami di etnografiterbuka.org
Terima kasih sekali lagi untuk keluarga JET, terutama Annisa Beta, Ben Hegarty, Fikri Haidar, Eni Puji Utami, Rosie Clynes untuk komposisi musik, Rugun Sirait untuk editing, dan juga Anda sebagai pendengar.
Saya Tito Ambyo, dan Anda baru mendengarkan Podcast Jaringan Etnografi Terbuka. Ingat bahwa etnografi yang baik adalah etnografi yang jujur – tentang kemampuan kita, keterbatasan kita, dan dampak kehadiran kita dalam kehidupan orang lain. Sampai jumpa di episode selanjutnya.