Produksi pengetahuan di era otoritarianisme neoliberal
Ben K.C. Laksana
Transisi Indonesia menuju demokrasi pada tahun 1998 membawa masa peningkatan keterbukaan terhadap gagasan dan perspektif baru di kalangan akademisi. Masa ini telah memberi kebebasan lebih kepada akademisi untuk terlibat dengan materi dan ide, informasi, dan pengetahuan yang lebih luas. Namun, pemerintah Indonesia terus memengaruhi bagaimana pengetahuan dikonsumsi dan diproduksi dalam institusi akademik.
Warisan masa lalu otoriter Indonesia tetap ada. Dalam beberapa kasus, warisan tersebut lahir kembali melalui berbagai macam pembatasan. Hal ini terlihat juga dari interaksi teranyar dengan konservatisme agama. Kita melihatnya dalam berbagai upaya mulai dari pembatasan yang diberikan seputar wacana tertentu – khususnya di bidang politik kekirian (seperti yang terlihat dalam KUHP baru) seperti wacana seksualitas – dan munculnya swasensor di kalangan akademisi.
Lebih jauh, kebijakan pendidikan negara telah secara aktif menegakkan ideologi neoliberalisme. Saya mengacu kepada definisi Bronwyn Davies dan Peter Bansel tentang neoliberalisme dalam pendidikan sebagai transformasi lembaga pendidikan dan pekerjanya untuk menghasilkan ‘subjek yang dibentuk menjadi sangat individual dan diserahi tanggung jawab, yang menjadi pelaku kewirausahaan di semua dimensi kehidupan mereka.’ Pendekatan ini membentuk bagaimana akademia dijalankan di semua level. Walaupun reformasi-reformasi awal pendidikan tinggi pada pertengahan tahun 90-an dihalangi pengaruh publik yang kuat, lembaga akademik Indonesia saat ini menghadapi perluasan neoliberalisme. Hal ini terlihat dari kebijakan baru pemerintah ‘Merdeka Belajar/Kampus Merdeka’ atau MBKM. Saya berpendapat bahwa hal ini hanyalah upaya daur ulang pemerintah untuk mengarahkan agar apa yang diajarkan di dalam institusi akademik berkiblat pada kepentingan pasar. Hasilnya adalah restrukturisasi sistem pendidikan Indonesia demi memenuhi kebutuhan dan keinginan elit politik-bisnis kaya. Bagi para elit, manfaat dari kerangka pendidikan berorientasi pasar adalah sekumpulan besar tenaga kerja yang dapat dengan mudah dicampakkan dan hanya memedulikan kelangsungan hidup mereka sendiri.
Awam mungkin berasumsi bahwa neoliberalisme dan penekanannya pada kebebasan individu akan dengan mudah menentang segala bentuk yang mengarah kepada otoritarianisme. Hal ini bisa saja dimaknai bahwa keduanya tidak kompatibel satu sama lain. Namun, yang kita lihat di Indonesia tidak hanya keberjarakan antara neoliberalisme dan otoritarianisme, tetapi juga kaitan antara keduanya yang sering ditutup-tutupi. Situasi ini mengingatkan pada deskripsi ahli geografi Marxis Inggris David Harvey tahun 2005: ‘kepedulian neoliberal terhadap individu mengalahkan kepedulian sosial-demokrat apapun terhadap kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas sosial.’ Beberapa contoh terkini di Indonesia telah menunjukkan bahwa proses penerapan kebijakan neoliberal pun membutuhkan ‘negara yang kuat.’ Salah satu contohnya adalah Omnibus Law, yang disahkan melalui taktik otoriter termasuk penanganan represif terhadap pengunjuk rasa. Implementasi kebijakan-kebijakan neoliberal tersebut dan pembenarannya yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi telah secara tidak sengaja dan/atau bermaksud mengarahkan negara Indonesia untuk semakin condong ke arah otoritarianisme.
Yang awam kurang pahami di sini adalah bagaimana kebijakan ini juga membantu mengarahkan perilaku kelompok dan individu untuk menyesuaikan diri dengan negara otoriter. Termasuk di dalamnya adalah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dan para akademisinya. Akademisi membentuk cara mereka memproduksi pengetahuan yang telah disesuaikan dengan keinginan negara yang semakin lama semakin otoriter neoliberal. Pengetahuan yang diproduksi dalam lingkungan otoriter neoliberal merampas hak ekonomi dan politik warga dan mempertahankan kekuasaan negara. Mengendalikan mereka yang menghasilkan pengetahuan berarti mengendalikan pengetahuan. Elemen-elemen kuat masyarakat menopang dan melegitimasi diri dengan menggunakan pengetahuan yang mendukung legitimasi tersebut. Tanpa pengaruh atas hal-hal yang membentuk keabsahan pengetahuan, aturan hegemonik apa pun – termasuk di Indonesia – dapat dengan mudah goyah.
Meneoliberalisasikan akademia
Penyebaran ideologi neoliberal secara global selama empat dekade terakhir telah menghasilkan kerangka tata kelola yang memandang pasar sebagai mekanisme utama untuk menentukan produksi dan distribusi pengetahuan. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat dilihat dari cara pemerintah mendefinisikan tujuan dari kebijakan-kebijakan MBKM terkini, yaitu ‘untuk memenuhi tuntutan, arus perubahan, dan kebutuhan akan link and match dengan dunia usaha dan industri, dan untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia kerja.’ Melalui MBKM, pemerintah ingin mendorong dua gagasan mendasar: Pertama, pemerintah berupaya untuk membentuk yang dianggap sebagai ‘pengetahuan yang sah,’ yang didefinisikan oleh sosiolog Michael Apple sebagai pengetahuan yang wajib kita semua miliki. Pemerintah menerapkannya dengan mengistimewakan jenis pengetahuan tertentu di atas yang lain dan menyusun hierarki yang memuat gagasan implisit tentang bagaimana dan harus bagaimana dunia sosial, politik, dan ekonomi kita beroperasi. Kedua, pemerintah mencoba untuk mendefinisikan pengetahuan yang sah dari perspektif neoliberal berorientasi pasar, yang berpusat pada pelaku kewirausahaan.
Pemerintah Indonesia bersikukuh melalui marketisasi kurikulum, yang membiarkan pasar membentuk dan menentukan jenis pengetahuan yang dianggap penting (yang berlawanan dengan kriteria memungkinkan lain, misalnya kepentingan publik). Alhasil, proses ini menggeser keseimbangan kekuasaan dalam produksi dan penyebaran pengetahuan. Kebutuhan publik dinomorduakan setelah kebutuhan mereka yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi, baik korporasi maupun elit kaya Indonesia. Privilese diberikan kepada bentuk-bentuk pengetahuan hanya berdasarkan sejauh mana bentuk-bentuk tersebut dapat berkontribusi bagi keuntungan moneter individu. Selain marketisasi kurikulum, manifestasi lebih lanjut dari kebijakan neoliberal dalam sistem pendidikan adalah semakin rentannya hubungan ketenagakerjaan di kalangan akademik. Bentuk prekariat neoliberal ini mengubah kondisi kerja tiap akademisi, yang pada akhirnya memengaruhi penelitian yang mereka lakukan dan pengetahuan yang mereka hasilkan.
Akademisi prekariat
Kebijakan neoliberal telah membuat akademia menjadi lebih tidak stabil, kurang terjamin, dan semakin rawan bagi akademisi. Pendapatan akademisi Indonesia tetap rendah, termasuk di banyak perguruan tinggi swasta, dan terlebih lagi bagi dosen tidak tetap yang tidak memiliki jalur terjamin menuju jabatan tetap. Termasuk di dalamnya adalah sistem pendanaan penelitian yang semakin langka akibat terdampak pandemi COVID-19. Dengan pendapatan dan dana penelitian terbatas, jarang ada peluang untuk melakukan penelitian berkelanjutan. Ditambah dengan budaya di kalangan akademisi Indonesia yang mengharuskan penelitian berjalan sesuai dengan kebutuhan negara, maka tidak heran jika penelitian yang dilakukan acap kali berkualitas rendah. Untuk mengimbangi pemiskinan mereka, banyak akademisi Indonesia melakukan penelitian eksternal, kerap kali dalam bentuk proyek pesanan pemerintah. Beberapa bahkan mengambil pekerjaan sampingan dalam korporasi, termasuk di BUMN. Complex akademik-industri ini telah mempererat hubungan yang berkembang antara akademia dan industri, memengaruhi kebebasan akademik, dan memaknai hubungan pemerintah-industri sebagai hubungan yang tak tersentuh kritik. Beberapa yang beruntung dapat menjalin kerja sama dengan universitas atau akademisi asing, atau LSM dan organisasi internasional. Meskipun hal ini menjanjikan pendapatan yang jauh lebih baik, akademisi kelompok ini juga tetap tidak lepas dari arahan negara karena peraturan penelitian asing yang restriktif di Indonesia.
Karena menyadari ketergantungan mereka pada negara terkait kegentingan yang semakin meningkat, tidak mengherankan juga jika para akademisi berpihak kepada otoritarianisme negara yang makin meningkat. Penelitian David Bourchier dan Windu Jusuf terhadap kaum liberal kelas menengah di Indonesia, meskipun tidak secara khusus menyoroti akademisi, dapat memberikan beberapa penjelasan mengenai terjadinya hal ini di dunia akademik. Bourchier dan Jusuf mengidentifikasi bahwa karena kelemahan relatif mereka, baik secara politik maupun ekonomi, dan ketergantungan pada negara, kaum liberal secara historis memihak ‘otoritarianisme yang berpusat pada kenegaraan (statism) ketika kepentingan mereka terancam oleh gerakan populis dari kiri atau kanan.’ Serupa dengan kaum liberal Indonesia, kita juga telah menyaksikan betapa terbatasnya akademisi Indonesia dalam hal kekuatan ekonomi dan mungkin juga politik, sehingga memungkinkan mereka untuk berpihak kepada siapapun yang memegang kekuasaan. Kendati demikian, terlepas dari betapa mudahnya menuduh mereka sebagai pion negara belaka, beranggapan bahwa akademisi yang berposisi rawan itu mendukung cita-cita yang iliberal – termasuk dengan membantu menghasilkan penelitian apapun yang diperlukan oleh negara untuk membenarkan kebijakan negara – bukanlah sekadar urusan tunduk atau tidak. Sebaliknya, praktik-praktik ini mencerminkan mekanisme bertahan hidup dalam lingkungan akademik yang melulu tidak pasti, terdemoralisasi, dan represif. Di sini akademia hanyalah salah satu dari banyak jalan di mana neoliberalisme dan otoritarianisme berkesempatan saling berkelindan dan menumbuhkan satu sama lain.
Peluang untuk perlawanan
Melihat suramnya alam akademik Indonesia saat ini, kita juga harus mengingatkan diri sendiri bahwa hegemoni tidak pernah tuntas. Mungkin penangkal harian yang paling mungkin tercipta bagi otoritarianisme neoliberal Indonesia yang sedang marak saat ini ada dalam banyak contoh bentuk kolektif pendidikan dan produksi pengetahuan. Jika dibanding alternatif sepinya, perjuangan kolektif semacam ini adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Ada beberapa contoh perlawanan kolektif yang bisa kita amati di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Forum Studi dan Kolektif KUNCI yang berbasis di Yogyakarta, yang ‘bereksperimen dengan metode produksi dan berbagi pengetahuan melalui pemelajaran bersama di titik bertemunya kerja afektif, manual, dan intelektual.’ Bersamaan dengan langkah ini, KUNCI telah memprakarsai The School of Improper Education, yang berfungsi sebagai laboratorium publik untuk eksperimen-eksperimen tersebut, serta memfungsikan dirinya sebagai titik temu antara masyarakat umum dan akademisi atau pakar. Ia memberikan kepada setiap orang, baik publik maupun akademisi, ruang untuk pemelajaran dan produksi pengetahuan kolaboratif serta membangun dasar perlawanan kolektif dari jejalin ikatan personal. Organisasi seperti KUNCI tidak hanya berperan sebagai benteng melawan neoliberalisasi pengetahuan yang sah; ia juga melawan individualisasi yang didorong oleh pendidikan neoliberal.
Sebagai tambahan, walaupun memang ada banyak peluang di luar lembaga pendidikan formal, banyak akademisi Indonesia yang dibatasi di dalam lembaga mereka. Pekerjaan mereka dipengaruhi oleh peraturan atau, seperti yang lebih sering terjadi, kemampuan ekonomi mereka yang terbatas. Inilah alasan mengapa kita masih membutuhkan upaya untuk mengubah secara radikal tata kerja institusi akademik neoliberal. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan membuat serikat akademisi. Terlepas dari fakta bahwa serikat akademisi di banyak negara memiliki keberhasilan yang sangat terbatas, Indonesia saat ini tidak memiliki serikat akademisi yang layak. Setidaknya, serikat semacam itu dapat membantu akademisi menyuarakan keprihatinan mereka tentang kehidupan prekariat mereka – kurangnya serikat sangat membatasi diskusi seputar penghidupan dan masalah yang dihadapi oleh akademisi Indonesia saat ini.
Bentuk-bentuk perlawanan ini menanggung tugas yang tidak mudah. Namun, upaya kolektif merupakan pilihan yang paling mungkin sekarang ini saat kita disajikan gado-gado kepentingan neoliberal/korporasi dan otoritarianisme negara. Meresapnya neoliberalisme dan otoritarianisme dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia telah mempersulit kita sebagai individu untuk mempertanyakan dan menantang petaka imajinasi sosial-politik ini. Bertindak secara kolektif memungkinkan kita untuk merenungkan bagaimana sistem semacam itu telah mengakar dalam masyarakat dan dalam kehidupan kita sendiri.
Ben K.C. Laksana ([email protected]) adalah mahasiswa Ph.D di Victoria University of Wellington. Fokus risetnya adalah kelindan antara sosiologi, pendidikan, kaum muda, dan aktivisme. Ia juga salah satu pemandu acara di siniar Benang Merah.