Transkrip Episode 6 Podcast Jaringan Etnografi Terbuka
Transkrip Podcast JET Episode 6 Obrolan tentang Etnografi Digital – Wawancara dengan Annisa Beta
00:00:13 Tito Ambyo
Halo dan selamat datang di podcast Jaringan Etnografi Terbuka. Sebuah ruang diskusi dan belajar tentang etnografi dan penjelajahan etnografi sebagai pendekatan yang terbuka dan kolaboratif. Saya Tito Ambyo dari RMIT University di Naarm, Melbourne, Australia dan bersama kita akan menyelami berbagai aspek etnografi.
Pernah nggak mikir tentang apa sebenarnya pengaruh teknologi digital dan internet di kehidupan kita sehari-hari?
Teknologi digital dan internet ini sudah bukan hanya jadi bagian penting dari kehidupan kita secara pribadi tapi juga sudah membentuk budaya lokal, nasional, dan global. Rendang misalnya pernah dinobatkan sebagai makanan paling enak di dunia beberapa tahun yang lalu, yang sebenarnya mungkin artinya orang Indonesia adalah yang paling aktif kalau promosi soal makanan atau juga berbagai kejadian-kejadian yang begitu aktif karena dimulai dari internet. Dari Youtube misalnya atau dari Twitter dan dari penelitian saya sendiri saya juga melihat bagaimana Youtube menciptakan budaya bercerita horor yang bukan hanya digital tapi juga sampai ke bioskop dan juga sampai membentuk ekonomi informal di sekitar cerita-cerita horor tersebut.
Episode kali ini menghadirkan Dr. Annisa Beta, dosen Cultural Studies di University of Melbourne, yang juga adalah salah satu pendiri Jaringan Etnografi Terbuka. Annisa sudah lebih dari 10 tahun menggunakan etnografi digital untuk meneliti soal perempuan muda di Indonesia dan beliau akan mengajak kita memahami mengapa etnografi digital bukan lagi hanya pilihan tapi juga kebutuhan kalau kita mau memahami Indonesia zaman sekarang. Yang akan kamu dengar dari Annisa adalah bagaimana budaya digital itu tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Daripada bertanya bisa dapat apa duduk di depan komputer, kita juga bisa membalik pertanyaan itu, dengan bertanya apa aja yang bisa kita dapat dari komputer? Dan apa yang tidak bisa didapat dari duduk di depan komputer tersebut? Dari penelitiannya tentang feminisme populer hingga pengalamannya melakukan fieldwork di tiga kota sekaligus, Annisa akan berbagi bagaimana etnografi digital memberikan pemahaman yang sulit didapat dari metode lainnya. Kita juga akan mendengar tentang framework ‘Embedded, Embodied, Everyday’ dari Christian Hine yang mengubah cara kita memandang internet. Ini adalah percakapan tentang bagaimana dunia digital dan dunia nyata sudah tidak bisa lagi dipisahkan dan apa artinya untuk kita yang ingin mengerti, meneliti, dan memahami masyarakat Indonesia zaman sekarang. Selamat mendengarkan.
00:03:17 Tito Ambyo
Selamat datang, Annisa Beta.
00:03:20 Annisa Beta
Terima kasih, Tito.
00:03:21 Tito Ambyo
Apa kabar?
00:03:22 Annisa Beta
Baik, lo apa kabar?
00:03:23 Tito Ambyo
Baik, baik. Kenapa sih kita harus bicara tentang etnografi digital? Ini kan podcast ini untuk yang pengen tahu tentang Jaringan Etnografi Terbuka, seperti apa kerjaan-kerjaan Jaringan Etnografi Terbuka. Kenapa kita harus bicara tentang etnografi digital kalau kita mau bicara tentang Jaringan Etnografi Terbuka?
00:03:46 Annisa Beta
Kenapa kita harus ngomongin etnografi digital? Karena Jaringan Etnografi Terbuka baru banget didirikan, 2022, datang dari minat gue dan Ben Hegarty. Kenapa kita harus ngomongin etnografi digital sekarang? Karena JET juga dibuat dengan berbagai teknologi yang ada.
Tapi mungkin gue mau ngomong tentang etnografi digital khususnya, bukan JET -nya. Gue udah nyiapin beberapa alasan. Gue mulai dari alasan fafifu dulu dan yang ndakik-ndakik.
Pertama karena teknologi sebagai alat dan fenomena sosial udah nggak bisa kita nggak peduliin lagi. Dan ketika gue ngomongin teknologi sebagai alat dan fenomena sosial, gue ngomongin komputer, gue ngomongin telepon, TV, segala macam. Bukan teknologi dalam gagasan humaniora yang lebih umum. Dan selain itu juga perkembangan late capitalism membuat kita semakin sulit untuk mengingat atau tidak mempedulikan bagaimana teknologi berkembang. Dan sekarang kita ngelihat impossibilities, sebenarnya, ketidakmungkinan untuk dalam kehidupan kita untuk melepaskan yang digital dengan kehidupan sehari-hari kita. Menurut gue gitu. Dan itu juga gue tahu, dan lo juga kerja di bidang ini, To. Bahwa yang digital dan kehidupan sehari-hari kita itu udah nggak ada pemisahannya.
Dan mungkin kalau contoh buat teman-teman di Indonesia, kita tahu bagaimana media sosial mempengaruhi politik elektoral, gitu ya. Sampai kemarin sangat jelas dengan pemilihan presiden baru. Terus kalau lo tinggalnya di Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia, hal pertama yang lo lakuin selain lo megang HP, tentu lo kayak pakai Gojek atau pakai Tokopedia. Semua hal di kehidupan sehari-hari lo nempel banget sama yang kita sebut digital. Dan di Indonesia pun sekarang layanan pemerintahan semuanya nempel dengan yang digital, gitu ya. Termasuk kesehatan. Ini jadi hal yang bagus tapi juga kita tahu banyak hal buruknya, terutama untuk orang yang lebih tua atau yang tidak tahu teknologi sebaik itu, gitu ya. Dan selain itu tentu komunikasi sehari-hari kita dan hubungan interpersonal sampai gimana kita berkelompok dan segala macem. Jadi seenggaknya itu satu alasan kenapa kita udah nggak bisa, nggak peduliin yang digital gitu.
00:06:10 Tito Ambyo
Jadi, sebagai peneliti, sebagai seorang yang pengen tahu apa yang terjadi di sekitar kita, alasan kenapa kita harus berbicara, kita harus berpikir serius tentang etnografi digital, itu karena yang teknologi digital itu udah jadi bagian kehidupan kita sehari-hari gitu ya?
00:06:27 Annisa Beta
Iya, betul.
00:06:28 Tito Ambyo
Dan ini mungkin yang gue tertarik juga tuh, dan ya memang penelitian gue juga etnografi digital, jadi mungkin gue juga bisa nambah-nambahin nanti. Tapi, gue tertarik yang tadi lu bilang, bahwa sekarang itu kan teknologi digital itu udah nggak bisa dipisahkan lagi gitu ya, dari kehidupan sehari-hari orang gitu. Jadi mungkin nanti kita bicarain tentang ini lebih banyak lagi, tapi mungkin pengalaman lu sendiri dulu deh tentang etnografi digital. Sebagai peneliti, sebagai penulis, apa pengalaman lu sama etnografi digital ini?
00:07:07 Annisa Beta
Pengalaman gue dengan etnografi digital, mungkin gue mulai dari yang umum banget, terus nanti gue kasih contoh yang lebih khusus, gitu ya.
Misalnya, dalam memahami bagaimana feminisme bisa muncul dan berkembang lagi di Indonesia, kalau lu mau sebut revival juga boleh, gitu ya. Itu munculnya, sepengetahuan gue ya, seenggaknya, sehingga bisa terkenal di antara orang muda, ya, sejak tahun 2018 melalui media sosial. Feminisme yang gue omongin ini adalah feminisme populer, ya, bukan feminisme yang dipahaminya cuma sama aktivis, atau sama dosen, atau sama akademisi gitu. Ini populer di kalangan orang-orang biasa, terutama kaum muda yang nggak punya akses ke pengetahuan itu. Jadi, kalau kita mau paham soal gimana sih feminisme bisa sampai jadi seterkenal sekarang, jawabannya nggak bisa cuma bilang, ‘oh, itu datang dari luar negeri’ gitu, karena yes and no. Tentu ada pengaruh dengan apa yang terjadi di Amerika, dengan Me Too, tapi itu tahun 2016. Kita harus bertanya juga, gitu, terus dari Amerika gimana perjalanannya bisa sampai Indonesia? Dan di situ kenapa melakukan etnografi digital jadi penting, karena lu jadi bisa menemukan alasan bahwa, misalnya, oke satu, akses ke handphone jadi lebih mudah, itu satu hal yang penting. Karena lu nggak melihat hal yang sama di awal 2010-an, atau di tengah 2010-an, gitu ya, 2015, dimana mungkin hanya beberapa orang aja yang punya Blackberry, atau iPhone, atau mungkin Android Samsung yang mahal. Tapi kalau lu lihat di 2018, orang-orang yang punya Android semakin banyak, hampir semua orang punya akses ke smartphone, dan itu penting banget. Dan ini berarti akses ke teknologi digital ke teman-teman muda, yang kondisi ekonominya menengah, menengah ke bawah, jadi lebih mudah. Dan efeknya apa? Mereka dapat akses ke media sosial, yang kemudian pada saat bersamaan, karena tingginya minat ke feminisme dalam pergerakan sosial, jadi bentuknya lebih populer. Dan ini kita juga melihat peran besar aktivis-aktivis yang lebih muda, untuk mempopulerkan feminisme dan pemberdayaan gender, menggunakan bahasa yang lebih mudah diakses.
Kalau kita memakai pendekatan ala kuantitatif, atau konten analisis yang pengen buru-buru scraping, gitu ya, kita nggak akan paham kenapa sih bisa sampai menarik? Apa sih yang relevan sama kehidupan teman-teman muda ini? Dan apa alasannya sehingga jadi sangat bermakna? Dan 2018, sekitar 6 tahun lalu, kenapa sekarang jadi sehari-hari banget obrolan kita tentang gender? Atau mungkin kalau teman -teman tahu kayak safe space, keragaman seksualitas, obrolan mengenai pentingnya, memahami apa itu sexual assault, gitu ya. Hal-hal tersebut bergerak secara perlahan, dan betapa pelannya itu, cuma bisa kita pahami kalau kita menggunakan etnografi, menurut gue.
00:10:11 Tito Ambyo
Karena kan salah satu kelebihannya dari kita ada teknologi digital itu kan data. Maksudnya sekarang kita bisa melihat setiap hari, berapa banyak sih orang yang berbicara tentang kekerasan seksual di Twitter misalnya, atau di X, atau misalnya di Threads, atau di Youtube. Tapi, yang kita bicarakan sekarang kan etnografi, pendekatan etnografis. Jadi, kan lu tadi bilang, kalau kuantitatif, tentunya kuantitatif juga bisa memberi pengertian juga. Tapi, kenapa etnografi? Dibandingkan sama pendekatan kuantitatif, apa yang bisa didapat dari pendekatan etnografi?
00:10:57 Annisa Beta
Dan mungkin bukan cuma pendekatan kuantitatif ya, beberapa pendekatan kualitatif juga bisa bermanfaat, kayak content analysis dan sebagainya.
Tapi sebenarnya dengan etnografi, kita, menurut gue, jadi lebih paham siapa sih di balik semua ini? Kayak orang-orang yang ment-organize akun-akun media sosial yang terkenal, siapa sih mereka? Kenapa mereka tertarik dengan semua ini? Apa yang mereka lakukan? Apa perjalanan mereka?
00:11:25 Tito Ambyo
Jadi, cerita-cerita di balik data itu ya?
00:11:26 Annisa Beta
Cerita-cerita di balik itu semua penting. Dan juga ketika kita melihat orang yang tertarik dengan hal-hal itu, kita juga jadi punya cerita di balik kenapa menarik, kenapa relevan sekarang? Kenapa nggak relevan misalnya, ya feminisme kita udah tahu obrolannya udah hampir ratusan tahun lah. Kenapa baru sekarang? Jadi jawaban-jawaban kepertanyaan itu tidak bisa muncul kalau lu hanya melihat kontennya atau menghitung angka-angka. Mungkin bisa menjawab beberapa hal, tapi tidak bisa menjawab hal yang lebih dalam gitu, pertanyaan yang lebih mendalam.
00:12:00 Tito Ambyo
Ya, kalau misalnya gue boleh tanya nih tentang yang lebih spesifik lagi, kan ini kita bicara tentang metodologi ya. Jadi, etnografi digital itu kan banyak macam-macamnya. Pendekatan etnografi digital apa yang lu pakai biasanya untuk penelitian-penelitian lu itu?
Kan kalau misalnya kita bicara tentang etnografi digital itu, kita harus bilang bahwa etnografi digital itu udah ada dari lama gitu kan. Bukan sesuatu yang baru muncul 5 tahun yang lalu. Ini udah ada dari dulu, Christine Hine misalnya, kan. Tapi juga karena begitu baru juga, jadi walaupun sudah lama, tapi juga sekarang banyak yang melakukan proyek etnografi digital itu kan dengan berbagai pendekatan. Misalnya, ada yang kayak lu ngirim, Crystal Abidin kan pernah present tentang beberapa metode etnografi digital itu. Dan kalau yang misalnya gue lihat tuh kayak, ada yang bilang etnografi digital itu kan masa cuma duduk di depan komputer, terus bisa dapat apa gitu kan?
Tapi banyak juga etnografer kayak misalnya John Postill, Patty Gray, misalnya yang mereka nulis tentang aktivisme. John Postill nulis tentang aktivisme di Spanyol, Patty Gray nulis tentang aktivisme di Rusia. Tapi yang mereka lakukan adalah mereka nulis tentang live stream dari Rusia, live stream dari Spanyol, dari Malaysia, dari Indonesia. Dan menurut mereka bahkan dengan menggunakan teknik etnografi digital, lu bisa lebih hadir gitu. Lu bisa lebih, karena lu bisa lebih, lu bisa, misalnya lu bisa pause dulu gitu kan. Dan lu bisa lihat siapa aja sih yang bicara, dan kalau misalnya lu ada di situ gitu kan, kadang-kadang lu juga perspektif, maksudnya secara fisik kan lu nggak bisa melihat semua orang gitu kan. Jadi, sekarang juga banyak yang bilang, oh tapi juga kalau misalnya etnografi digital itu bisa juga cuma lurking gitu. Cuma kita nggak usah participant observation, kita bisa juga non-participant observation. Jadi, mungkin berbagai metode etnografi digital ini, dan tentunya kalau klisenya sih jawabannya adalah, setiap proyek etnografi digital itu harus ada pendekatannya sendiri kan? Tergantung apa sih yang lagi lu teliti. Tapi kalau misalnya buat lu sendiri, gimana lu membentuk metode untuk mempelajari apa yang mau lu pelajari dengan etnografi digital ini?
00:14:32 Annisa Beta
Gue tertarik dengan statement lu tadi, ada beberapa orang yang bilang duduk di depan komputer, bakal dapat apa sih? Itu menarik banget ya, bahwa kalau gue yakin dan masih ada, banyak peneliti senior yang mengatakan itu. Dan itu benar gitu ya, bahwa pertanyaan di depan komputer lu bisa dapat apa? Tapi sebenarnya kalau mau dijawab sekarang ya, di depan komputer apa yang lu nggak bisa dapat? Bisa dibalik seperti itu.
Tapi, benar setiap proyek beda pendekatan etnografi digitalnya, dan bukan tugas gue untuk menghakimi yang mana yang lebih baik. Tapi tugas gue sebagai peneliti, dan mungkin nanti tugas teman -teman yang tertarik dengan etnografi digital, adalah untuk melihat apakah ini bisa menjawab pertanyaan riset? Atau apa yang lu teliti atau yang lu minati.
Gue, kalau gue bilang gue sedang melakukan etnografi digital, yang gue pakai adalah pendekatannya Christine Hine, Ethnography for the Internet. Ini pendekatan yang Hine perbaiki, dia tadinya nulis tentang virtual etnography tahun 2000-an, terus dia nulis lagi buku baru tahun 2015, untuk ngerespon ke perkembangan web 2.0. Jadi hal yang lebih interaktif gitu ya, dan gimana lu bisa merespon semua itu. Buat gue, Hine jadi penting karena dia ada 3 hal yang dia utamain. Yang dia sebut bahwa internet itu harus lu lihat sebagai embedded, embodied, dan everyday.
Embedded karena, ya tadi ya kita bahas di awal bahwa namanya internet itu ada di keseharian kita. Everything we do, internet, digital ada di semua alat yang kita pakai sehari-hari. Dan karena itu, dia jadi membentuk kerangka pikir, dan bagaimana kita memaknai kehidupan sehari-hari. Dan gue pengen ngejelasin, tapi sebenarnya lumayan obvious ya kan? Apapun yang lu order online ya semuanya itu hal digital, dan melalui hal yang digital yang akhirnya mempengaruhi bagaimana misalnya lu dapat barang, bagaimana barang itu dikirim, dan tentu bagaimana pekerjaan terbentuk, dan segala macam. Bahkan dalam level interpersonal, online dating, dan berbagai bentuk services yang morally correct or incorrect, sekarang semuanya ada di digital. Jadi, it’s really embedded, nempel di kehidupan sehari-hari kita.
Kedua, it’s embodied. Pengalaman ketubuhan kita jelas-jelas berkelindan dengan apa yang terjadi online. Kayaknya apa yang kita tonton secara digital itu sekarang udah jelas-jelas mempengaruhi bagaimana kita menjalani sehari-hari kita, apa yang kita lihat di Instagram, streaming, apa yang kita tonton di Netflix, dan segala macem.
Dan juga bahwa ini everyday gitu ya, sehari-hari. Internet dan digital itu infrastruktur. Kenapa kita sebut infrastruktur? Karena dia ada, kita pakai sehari-hari, tapi kita suka lupa kalau dia ada. Dan tantangannya, karena itu, buat etnografer digital adalah untuk bilang yang namanya digital atau yang namanya internet, itu exceptional, luar biasa pentingnya, tapi juga mundane, sehari-hari. Dan itu hal yang menurut gue bikin etnografi digital jadi terus menarik. Karena lo harus memperlihatkan bahwa ini nggak normal sebenarnya. There was obviously a time kita nggak hidup dengan alat digital, tapi here we are. Jadi, itu tugas etnografer digital.
Tapi karena tiga hal tersebut yang tadi gue bilang, embedded, embodied, and everyday, gue jadi juga ngerasa bisa ngelakuin kerja lapangan, fieldwork, dengan jauh lebih baik, karena ada guidance yang sangat clear. Jadi gue bisa mengkaji orang ketika gue lagi scroll media sosial, teman-teman feminis muda yang kerja sama bareng gue di proyek penelitian gue, gue bisa sekedar buka internet, buka HP gue, gue lihat Instagram, gue bisa paham mereka lagi ada di mana, mereka lagi tertarik sama isu apa, dan gue bisa apa.
Tapi, dengan prinsip tadi juga, embedded, embodied, everyday, itu juga berarti ketika gue pergi ke Indonesia, ngobrol sama mereka, mencoba memahami apa yang terjadi di kehidupan mereka, itu juga ada kaitannya dengan apa yang gue lihat di media sosial. Jadi keduanya nggak terlepas. Udah nggak ada yang namanya pemisahan antara yang digital dan non-digital sebenarnya.
Dan buat gue, itu memberikan pengetahuan dan materi riset yang lebih kaya dibandingkan, dan ini bukan menjelek-jelekan atau membaik-baikan, dibandingkan kalau lo hanya fokus misalnya dengan satu hal, berada di kampung, dengan image etnografer atau antropolog zaman dulu, dengan semuanya malah jadi lebih menyeluruh, dan buat gue itu jadi pemahaman yang lebih mendalam, yang sesuai dengan prinsip etnografi juga: immersion.
00:19:21 Tito Ambyo
Ya, mungkin kalau misalnya gue boleh berbagi. Apa, ada salah satu? Boleh ya? Ya, embedded, embodied, everyday, itu mungkin perbedaan paling besarnya. Ketika Christine Hine nulis tentang virtual etnography, Robert Kozinets juga nulis tentang netnography. Sekarang kita lebih melihat bahwa internet itu, kalau kita kan dulu di Indonesia bilangnya ada dunia maya dan dunia nyata. Sekarang kayaknya kita udah jarang denger, oh ini dunia maya, ini dunia nyata. Jadi, sebenarnya orang dari bahasa kita juga, kita udah sadar bahwa dunia maya ya dunia nyata, dan dunia nyata juga dunia maya. Jadi kayak misalnya di penelitian gue, penelitian gue tentang YouTube horor.
00:20:12 Annisa Beta
Which I love so much, by the way.
00:20:14 Tito Ambyo
Yes. Annisa itu fans horor. Jadi kalau ada yang denger podcast ini, silahkan kirim horor-horor ke Annisa.
Cuma, jadi yang gue lihat itu ternyata di, misalnya di beberapa tempat di, kan horor di Indonesia tuh banyak ke rumah-rumah yang udah terbengkalai, selalu ada hantunya, kadang-kadang mereka camping di situ. Nah, yang gue lihat ternyata itu tuh kayak, ada satpam-satpam di rumah terbengkalai itu, yang ini jadi ekonomi informal. Jadi, satpam-satpam itu tahu, ‘oh ini nggak boleh sebenarnya masuk ke sini, tapi ya lu bayarlah’ gitu kan. Jadi, kayak digital juga mempengaruhi dunia nyata gitu kan. Bahwa, dan kalau misalnya kita lihat juga, banyak yang bintang-bintang YouTube di kampung-kampung, desa-desa, mereka juga membangun kampung, mereka lewat YouTube gitu kan. Di Indonesia tuh udah banyak sekarang, kayak kampung-kampung YouTuber gitu kan. Jadi, mungkin ya, buat yang ngedengerin ini, kalau misalnya tertarik tentang digital ya, pertama, ya pendekatan etnografi digital, kalau kita baca, apa namanya, yang ditulis tahun 90-an, udah beda banget sama yang sekarang gitu ya. Udah lebih, nggak ada lagi gitu yang namanya dunia maya, dunia nyata, semuanya sangat kompleks. Tapi juga, ya yang digital dan non-digital itu ya berkelindan, kayak kata lu tadi itu.
Dan, cuma tadi kan lu banyak nulis tentang perempuan muda, dan tadi lu bilang, lu bisa ngelihat, oh ini aktivis-aktivis ini lagi di mana sekarang, yang lagi lu teliti bareng, atau ya belajar bareng. Tapi, dari yang gue tahu, lu sebagai peneliti juga sama perempuan-perempuan yang lu teliti, dan lu nggak bisa ngelihat gue ada quotation mark, yang lu teliti, lu bukan cuma sebagai peneliti yang jauh dari mereka gitu kan. Kayak lu juga suka nongkrong sama mereka, terus kalau ketemu sama perempuan muda, gue pernah lihat lu di, kita lagi nongkrong di Ubud, terus ada yang datang ngobrol sama lu, terus lu ngobrol-ngobrol sama mereka. Dan jadi gue tahu bahwa lu bukan cuma ngomong aja gitu, bahwa, oh ya kita harus dekat dengan orang segala macem, lu juga mempraktikan itu.
Cuma gue jadi pengen tahu nih, kenapa di dunia etnografi digital yang lu bisa meneliti pergerakan-pergerakan para perempuan muda ini lewat digital, kenapa buat lu masih penting untuk nongkrong, ngopi sama mereka?
00:22:55 Annisa Beta
Gue udah ngelakuin etnografi digital lebih dari 10 tahun. Gue pernah melakukan etnografi digital bersama kelompok perempuan muda Muslim, dan sekarang, sejak tahun 2018, gue bekerja sama dengan feminis muda. Dulu, kalau lu nanya gue dulu, tahun 2015-an gitu, ketika gue masih belajar apa itu etnografi digital, gue akan dengan sangat yakin bilang kalau ada bedanya. Kenapa gue harus nongkrong ngopi, ketemu, observasi, ikut pengajian, interview gitu dengan mereka. Tapi, pengalaman gue, terutama tahun ini sebenarnya, karena gue ngelakuin fieldwork intensif buat proyek penelitian gue yang besar banget, batas antara yang kita sebut in-person meeting fisik gitu ya, dengan yang online, Zoom, Whatsapp, telponan, itu semakin kabur gitu. Karena, waktu misalnya gue, gue sekarang fieldwork-nya ada di 3 kota, Jakarta, Jogja, dan Lombok. Di Jakarta, Jakarta itu kan macet. Kalau teman-teman feminis muda mau ketemu gue, mereka akan buang-buang waktu minimal sejam. Sejam aja udah untung gitu ya. Walaupun gue bilang, ‘oh gue bisa nyamperin lu’, tapi mereka juga jadi gak enak, karena kayak, ‘loh kalau lu nyamperin gue, sejam, dua jam kebuang di hari lu. Yaudah mending zoom aja Kak, dan ketemu.’
00:24:27 Tito Ambyo
Padahal sama-sama di Jakarta ya?
00:24:28 Annisa Beta
Padahal sama-sama di Jakarta gitu. Karena alasan infrastruktur, kondisi lingkungan, dan concern mereka sebagai feminis juga, karena gue perempuan, mereka perempuan. Mereka ngelihat, kayak, buat apa? Ada cara yang lebih efektif, toh kita juga akan tetap ngobrol. Buat apa gitu? Dan gue bisa bilang, keterlibatan gue dalam hidup mereka ternyata sama dalamnya gitu.
Bahwa apa yang gue alami di Jogja, karena di Jogja lebih nggak semacet itu, gue lebih banyak ketemu dengan teman-teman langsung gitu ya, ngafe, karena Jogja juga banyak kafe-kafe kecilnya, dibandingin dengan yang di Jakarta, ternyata gak ada bedanya. Kita sama-sama deket, karena gue melakukan pendekatan yang sama, mereka juga percaya sama gue.
Jadi, kemampuan mereka untuk melihat bagaimana ruang digital itu tidak ada bedanya dengan ruang yang digital, itu ternyata jauh lebih advanced tentu ya dari gue gitu. Karena mungkin mereka lahir gede dengan semua alat ini, jadi nggak ada hal yang dianggap nggak natural gitu.
Nah, bukan berarti nggak ada bedanya. Bukan berarti kemudian lu bisa bilang, yaudah lah etnografi digital, gue Zoom aja semuanya dari Australia atau dari mana lah gitu. Karena, gimanapun juga, gue sadari ketika gue di Jakarta, gue jadi paham kenapa gue harus stay digital di Zoom sama mereka ya, karena polusi makin buruk, nggak sehat, dan pemahaman mengenai kondisi ruangan itu, kondisi environment, membuat gue jadi lebih paham juga posisi mereka, bagaimana mereka mengambil keputusan, bagaimana, in effect, bagaimana mereka melakukan social movement mereka juga, untuk teman-teman yang di Jakarta, yang tentu berbeda dengan yang di Jogja, dan Lombok. Dan efeknya gue jadi bisa melihat bahwa, 3 kota aja udah beda banget, gimana kalau kita ngelakuin etnografi di kota yang lebih banyak gitu ya.
Jadi, bukan berarti karena blurring ini, jadi yaudah, kita ngelakuin semuanya di digital aja atau in person aja, tapi juga pada saat yang sama, gue mau menekankan kalau yang satu tidak bisa replace yang lainnya. Gimanapun juga, menurut gue, misalnya kayak lo mengkaji YouTube horor gitu, I think tetap penting untuk kemudian ke lokasinya, untuk melihat, untuk memahami di luar rumah-rumah, yang terlihat itu ada apa sih gitu.
Sama dengan gue gitu, oh di Jogja orang tuh lebih senang ketemu, karena bukan cuma, Jogja juga macet, by the way, tapi ada budaya, dan kesungkanan kalau nggak bertemu langsung, yang orang Jadebotabek biasanya nggak rasakan, karena infrastruktur transportasinya ya berbeda juga gitu. Jadi, hal-hal kayak gitu yang kemudian, walaupun lo bisa jadi melakukan semuanya pada akhirnya digital atau nggak, itu jadi pemahaman, bagian dari pemahaman mendalam yang tadi kita bahas juga.
00:27:17 Tito Ambyo
Ya, dan mungkin, kalau dari penelitian gue tuh kayak YouTube horor itu kan, kalau misalnya kita lihat gitu ya, banyak YouTuber-YouTuber itu yang, ke rumah-rumah terbengkalai, atau ke rumah sakit yang udah nggak dipakai gitu kan, terus mereka, ‘oh gue sendirian nih’, terus mereka kelihatannya sendirian gitu kan, tapi nggak sampai, kalau misalnya gue nggak pernah datang ke mereka, dan ikut rekaman YouTube sama mereka, gue jadi nggak bisa lihat, ‘oh ternyata tuh ada orang yang bantuin’ gitu kan. Jadi, karena banyak YouTuber ini, mereka profesional kan, mereka punya standar lah gitu kan. Jadi kayak, atau misalnya, gue pernah datang ke salah satu rumah yang horor ini, memang kalau lihat di videonya itu, satu orang datang terus udah gitu, ‘wah ini serem banget nih gue sendirian’. Tapi di luar tuh ada yang ngantri, jadi ada YouTuber lainnya gitu yang ‘ya kita tunggu dulu nih, ada lagi rekaman’. Nah itu kan kayak, apa, detail-detail kayak gitu ya, yang mungkin nggak bisa dapet, kalau misalnya gue cuma lihat, online-nya aja gitu kan. Gue nggak datang ke situ, gue nggak ngobrol sama satpamnya, gue nggak ngobrol sama orang yang punya rumah. Jadi mungkin juga, ya memang kalau misalnya kita lihat, dari literaturnya juga, kebanyakan orang rekomendasinya, ya kita offline dan online lah gitu. Jadi, kita juga harus tahu, seperti apa sih dunia mereka di luar dunia online. Atau misalnya kayak, kita mau meneliti orang yang, ya influencer di Instagram misalnya, ya kita harus tahu lah, gimana sih mereka pakai rumah mereka untuk bikin video gitu kan?. Karena kan pasti kayak, ya influencer-influencer Instagram yang, ya ini gue baru bangun nih gitu kan. Pasti kan nggak baru bangun gitu kan. Pasti ada prosesnya juga, dan itu mungkin yang bisa kita lihat gitu ya.
Tapi memang, nggak tahu ya, gue sih semangat lah, kalau misalnya bicara soal yang itu, karena memang Indonesia itu sebenarnya, kayaknya banyak gitu yang bisa kita teliti, dari dunia-dunia digital lainnya. Karena kan kalau misalnya lihat dari YouTube, dari Twitter, misalnya, ingat nggak dulu tahun berapa sih? Apa? Rendang jadi makanan paling enak di dunia.
00:29:28 Annisa Beta
Dua, early 2010s.
00:29:30 Tito Ambyo
Itu kan sebenarnya, ya memang rendang enak sih. Tapi, kan, itu tuh bukan bukti bahwa rendang makanan paling enak di dunia kan? Itu bukti bahwa orang Indonesia tuh jagoan, kalau soal voting di internet gitu. Jadi, jadi memang, Indonesia tuh, dunia digital di Indonesia tuh sangat menarik, tapi yang sering gue ngobrol sama teman-teman yang, bukan meneliti, budaya digital Indonesia tuh kayak yang mereka kayak, oh kita jarang tuh baca tentang budaya digital di Indonesia gitu. Karena memang kayaknya, ya udah mulai ada sih yang meneliti, tapi, belum banyak gitu.
00:30:06 Annisa Beta
Iya. Itu poin yang menarik banget, karena pada data, di data sebenarnya memperlihatkan bahwa, orang Indonesia dan orang Filipina, itu menghabiskan lebih dari 3 kali, lebih lama di internet atau dunia digital dibandingkan orang Amerika atau Eropa gitu ya. Dan sebenarnya data itu sendiri 3 kali lebih banyak, itu banyak banget gitu. Dan berarti, variasi hal-hal yang dilakukan sama orang Indonesia, atau orang Filipina, itu sebenarnya lebih banyak juga kan kreativitasnya. Dan makanya, iya, penting banget kita bisa ngedorong, gagasan mengenai etnografi digital, ketika kita meneliti etnografi juga. Karena, as you said, kurang banget penelitiannya sih.
00:30:53 Tito Ambyo
Terima kasih telah mendengarkan percakapan kami dengan Annisa Beta tentang etnografi digital. Dari diskusi hari ini, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita bawa.
Pertama, etnografi digital bukan lagi sekedar pilihan metodologi, tapi seringkali ini adalah sebuah kebutuhan. Ketika teknologi digital sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari – dari politik, budaya hingga ekonomi, dari hubungan interpersonal hingga layanan publik – mengabaikan dimensi digital berarti kehilangan kemampuan untuk memahami masyarakat secara utuh.
Kedua, internet harus dipahami sebagai embedded, embodied, dan everyday. Mungkin terjemahannya adalah membaur, di mana internet adalah bagian dari konteks sosial, menubuh, di mana internet dialami dengan berbagai indera perasaan, dan melekat, di mana internet adalah bagian dari keseharian kita. Embedded, embodied, and everyday. Membaur, menubuh, dan melekat.
Ketiga, etnografi digital memberikan akses untuk membuka berbagai cerita di balik data. Kalau metode kuantitatif bisa mengukur tren, dan mungkin mencari pola, etnografi digital memungkinkan kita memahami mengapa sebuah fenomena menjadi bermakna bagi orang-orang tertentu di waktu tertentu.
Keempat, pemisahan online-offline sudah tidak relevan lagi. Digital dan fisik saling berkelindan, seperti yang terlihat dalam ekonomi informal di rumah hantu karena YouTube horor, atau kampung-kampung YouTuber yang membangun desa lewat konten digital.
Dan yang terakhir, etnografi digital memerlukan fleksibilitas metodologi yang sangat tinggi. Setiap konteks – baik geografis, sosial, maupun infrastruktural – memerlukan adaptasi dan pendekatan yang berbeda.
Indonesia, dengan berbagai budaya internetnya dan budaya digital, menawarkan laboratorium yang luar biasa untuk etnografi digital. Namun, seperti yang diingatkan oleh Annisa, masih terlalu sedikit penelitian tentang budaya digital Indonesia ini yang dilakukan secara serius. Ini adalah undangan bagi kita semua untuk lebih serius mengeksplorasi, menjelajahi dimensi digital dari kehidupan sosial kita.
Terima kasih kepada Dr. Annisa Beta yang telah berbagi pengalaman dan cerita yang sangat berharga ini. Dan terima kasih juga sudah mengengarkan episode ini.
Jangan lupa berlangganan dan bagikan episode ini kepada teman-teman yang tertarik dengan etnografi digital dan penelitian secara umum. Minggu depan akan kita lanjutkan pembicaraan kita dengan Annisa.
Terima kasih sekali lagi untuk keluarga Jaringan Etnografi Terbuka, salah satunya tentunya Annisa Beta, Ben Hegarty, Fikri Haidar, Eni Puji Utami, dan Rugun Sirait untuk editing, dan Rosie Clynes untuk komposisi musik.
Jangan lupa berlangganan dan bagikan episode ini kepada teman-teman yang tertarik mempelajari etnografi.
Saya Tito Ambyo untuk podcast Jaringan Etnografi Terbuka. Dan kalau kamu, seperti saya sudah terlalu banyak duduk di depan komputer, jangan malu-malu, teruslah meneliti, teruslah duduk di depan komputer, tapi lakukan dengan bijaksana, jangan lupa juga untuk beristirahat. Lihat pohon-pohon dan bunga. Sampai jumpa di episode selanjutnya.