Komunitas transgender dan etika penelitian
Zara Aisyah Fauziah
Komunitas perempuan transgender (transpuan) adalah kelompok masyarakat Indonesia yang sering diteliti dan direpresentasikan di berbagai forum. Peneliti lokal, asing, jurnalis, dan mahasiswa seringkali menghubungi komunitas transpuan, mewawancarai, atau menjadikan transpuan sebagai partisipan penelitian etnografi yang berlangsung dalam jangka panjang.
Mulai dari riset medis HIV sampai topik jurnalistik yang sensasional, transpuan adalah kelompok yang cukup berpengalaman sebagai ‘subjek penelitian’. Meskipun demikian, transpuan bukan korban tak berdaya dari pelaku media dan para peneliti. Seperti pada kasus Ferdian Paleka, seorang influencer yang ditangkap setelah merekam lelucon tidak menyenangkan yang melibatkan transpuan di Bandung, transpuan mampu mengubah pandangan terkait hidup transpuan yang diwarnai stigma, diskriminasi, dan eksotisme. Sebagai seorang transpuan di Jakarta, saya dan rekan-rekan di Sanggar Swara – organisasi advokasi berbasis komunitas bagi transpuan – mampu menawarkan perspektif yang berbeda terkait pengalaman penelitian.
Saya khususnya akan berfokus pada pengalaman kami sebagai subjek penelitian bagi mahasiswa tingkat akhir di Indonesia. Seluruh mahasiswa, terlepas dari bidang ilmunya harus menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar. Hampir seluruh mahasiswa perlu mengumpulkan data penelitian, terutama melalui metode wawancara. Kami memiliki banyak pengalaman dengan mahasiswa yang melakukan penelitian etnografi terkait transpuan.
Komunitas kami juga memiliki pengalaman dalam melaksanakan penelitian. Selama pandemi COVID-19, kami melakukan penelitian dengan langsung mengunjungi komunitas, mendengarkan pengalaman dari kawan-kawan transpuan. Kami memulai dengan hormat dengan pengantar perkenalan – sehingga transpuan tidak tiba-tiba dipaksa untuk mengungkapkan kesulitan mereka – kami mencoba membangun lingkungan di mana transpuan dapat berbicara mengenai kebutuhan mereka di awal pandemi. Kami menemukan banyak anggota komunitas yang kehilangan pekerjaan mereka.
Banyak transpuan yang bekerja di sektor informal, termasuk sebagai pekerja seks dan salon; berbagai kegiatan ini tidak bisa berjalan selama pandemi karena adanya kebijakan pembatasan sosial. Setelah mendokumentasikan temuan ini, kami menerima donasi dan menulis artikel yang dibagikan oleh Crisis Response Mechanism, konsorsium 300 lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) di Indonesia. Publikasi ini sangat berguna bagi transpuan di area Jakarta karena membantu pengumpulan donasi.
Menjadi subjek penelitian
Seringkali kami menemukan mahasiswa yang melakukan penelitian etnografi tidak menjelaskan atau memberitahukan kepada kami mengenai topik yang mereka bicarakan sebelumnya. Mereka hanya meminta kami untuk menceritakan kisah kami. Berulang kali saya diundang untuk menjadi partisipan penelitian online, dalam bentuk wawancara. Tetapi, seringkali tidak ada proses untuk mengenal satu sama lain, misalnya penjelasan mengenai topik penelitian, atau usaha untuk mengkontekstualisasikan penelitian. Setelah wawancara atau diskusi selesai, saya tidak tahu hasil dari diskusi kami atau produk akhir dari pembicaraan kami karena mereka tidak membagikan hasilnya kepada kami.
Kami memiliki banyak cerita dari praktik penelitian kurang baik yang dialami oleh komunitas transpuan, baik selama dan setelah pandemi. Pernah suatu kali salah seorang teman transpuan diminta untuk datang ke kafe oleh mahasiswa, tetapi mereka bahkan tidak membelikannya minuman. Padahal teman transpuan ini telah meluangkan waktunya, berbicara dengan mereka, dan setelahnya teman ini berpikir akan mendapatkan sejumlah kompensasi sebagai bentuk penggantian transportasi dan konsumsi. Kenyataannya, tidak ada kompensasi yang diberikan. Terlebih lagi setelah data terkumpul, mahasiswa tersebut tidak menghubungi teman transpuan ini sama sekali.
Ada pula yang ingin melakukan penelitian etnografi kepada komunitas LGBTQ, terutama transpuan yang sedang bekerja sebagai pengamen jalanan, lalu ingin mewawancarai mereka ketika sedang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa para peneliti ini tidak memahami bahwa pada waktu tersebut transpuan sedang bekerja. Jika ingin melakukan riset, peneliti harus tahu untuk berperilaku sopan. Lalu, jika peneliti ingin mengenal kami dalam periode beberapa hari, kesadaran bahwa kami juga memiliki kesibukan atau komitmen lainnya juga harus diperhatikan. Jika telah menyelesaikan penelitian, kami juga ingin mengetahui dampak dari penelitian tersebut. Jika menyasar kelompok transpuan yang memiliki latar belakang pendidikan atau telah memiliki pekerjaan, maka penting bagi mereka untuk memperoleh sesuatu dari penelitian, misalnya artikel atau rangkuman hasil penelitian. Kami bahkan ingin mendapatkan peluang untuk berkontribusi pada artikel tersebut, misalnya untuk menyesuaikan, menyunting, atau mempertanyakan beberapa bagian berdasarkan pengalaman kami.
Menghargai waktu dan masukan kami
Pengalaman ini ingin menyoroti bahwa transpuan telah menjadi subjek dari praktik penelitian yang buruk, tidak hanya sekali dua kali, tetapi sangat sering terjadi. Mereka yang ingin melakukan penelitian dengan transpuan (atau dengan siapapun) perlu memahami bahwa transpuan membutuhkan hasil dari penelitian yang dilakukan dan bahwa cara mereka bertindak pun bisa memengaruhi bagaimana sikap komunitas transpuan kepada penelitian dan peneliti ke depannya.
Waktu yang kami luangkan pada penelitian harus dianggap penting, karena waktu tersebut sebenarnya juga dapat kami gunakan untuk bekerja. Paling tidak, setelah selesai pengumpulan data atau berdiskusi mahasiswa harus tetap berkorespondensi dengan kami, sehingga kami bisa mengetahui hasil dari penelitian etnografi atau diskusi yang dilakukan. Apabila tidak memungkinkan bagi mahasiswa untuk memberikan kompensasi yang bersifat materil, setidaknya mereka harus sopan dan berkomunikasi kepada kami sampai akhir proses penelitian.
Kami tahu bahwa praktik penelitian yang beretika dapat dilakukan, seperti yang sudah kami lihat pada berbagai penelitian lainnya. Tetapi, bagi kami, seringkali kami masih menemukan mahasiswa hilang begitu saja setelah menyelesaikan pengumpulan data. Mungkin mereka hanya membutuhkan data untuk skripsi atau tugas, tetapi bukannya lebih baik jika mereka melakukan penelitian etnografi untuk studi mereka, mereka tetap menjalin hubungan baik dengan kami? Mungkin saja bisa ada kolaborasi lainnya yang bisa dilakukan di masa mendatang. Namun sayangnya, mereka langsung menghilang.
Dikarenakan berbagai pengalaman ini, Sanggar Swara akhir-akhir ini menjadi lebih ketat apabila ada mahasiswa yang ingin melakukan penelitian. Kami akan terlebih dahulu menanyakan hasil apa yang bisa kami manfaatkan dari penelitian yang dilakukan – misalnya hasil penelitian etnografi tersebut bisa dimasukkan sebagai portofolio Sanggar Swara di website. Tetapi sampai sekarang, berbagai konten tersebut belum tersedia – sehingga kami memberlakukan protokol bagi mereka yang ingin melakukan riset bersama kami. Pada akhirnya, mereka yang ingin melakukan penelitian setidaknya harus membagikan hasil penelitiannya kepada kami, sehingga kami dapat menggunakannya di masa mendatang.
Zara Aisyah Fauziah (@TranschoolSwara) adalah transpuan yang bekerja dengan organisasi komunitas Swara Sanggar.