Mengimajinasikan ruang aman

Mengimajinasikan ruang aman melalui arsip. QIA termasuk arsip pribadi dan arsip organisasi juga. Foto ini adalah dari arsip pribadi Monica. Foto menggambarkan Monica dengan teman-teman dia dalam salon c1990s / QIA

Sidhi Vhisatya

Di bulan terakhir menjelang 2023, ada dua berita terkait isu queer yang ramai dibagikan melalui media sosial; satu berkaitan dengan pengesahan revisi KUHP, yang lain berkaitan dengan pernyataan anti-LGBT dari Wali Kota Medan. Jika pengesahan revisi KUHP membuat komunitas was-was dengan celah-celah kriminalisasi komunitas queer yang terwujud dalam hukum formal di masa depan (setelah revisi ini berlaku), pernyataan Wali Kota Medan membuka tahun baru dengan kecemasan akan ancaman persekusi yang mungkin muncul. Suasana kelam ini diperparah dengan berita Pemerintah Daerah Makassar, Garut, dll yang sedang merumuskan rancangan perda anti-LGBT.

Beberapa kawan terpantau saling memastikan kabar, beberapa lainnya aktif mengkritik, melakukan advokasi, pun membuat meme tanda tidak setuju melalui kanal-kanal yang bisa mereka akses. Tidak sedikit yang mencoba tenang, berharap agar berita-berita ini cepat reda dan berlalu. Eksposur media pada isu-isu LGBT, khususnya yang muncul di periode-periode menjelang tahun politik, membuat kolektif/organisasi dan individu-individu yang berkaitan dengan isu ini waspada. Reproduksi narasi dan aturan anti-LGBT oleh para politisi dan penyelenggara negara berpengaruh menambah derasnya arus stigma dan diskriminasi terhadap komunitas queer di Indonesia; situasi yang memaksa komunitas ini kerap harus membuat atau mengatur ulang strategi untuk menjamin keamanan personal dan kolektif.

Mendokumentasikan sejarah queer

Dalam proses pendokumentasian materi arsip yang Queer Indonesia Archive (QIA) lakukan selama 2021-2022, kegelisahan akan datangnya tahun politik kerap muncul disertai cerita tentang pengalaman traumatis di tahun-tahun yang berbahaya. Beberapa subjek mengisahkan persekusi yang mereka alami pasca jatuhnya orde baru sambil menghela nafas, beberapa mempercepat tempo dan menaikkan intonasi, beberapa yang lain menyelipkan ‘sekarang kita harus lebih hati-hati kalau mau membuat program’ sambil membandingkan dengan masa-masa sebelumnya yang cenderung lebih nyaman; waktu itu, strategi koersif belum banyak digerakkan oleh para spesialis kekerasan non-pemerintah kepada komunitas queer. Di waktu yang sama, kisah mereka juga penuh dengan perayaan dan kegembiraan; tentang bagaimana mereka menemukan satu sama lain, bersolidaritas dan menavigasi hidup.

The QIA includes publications and documentation from queer organisations and a range of ephemera associated with the movement / QIA

Sebagai sebuah proyek pengarsipan komunitas queer, QIA mendedikasikan kerja-kerjanya untuk mendokumentasikan, melestarikan dan merayakan materi-materi yang menggambarkan kehidupan dan pengalaman komunitas queer di Indonesia. Proses tersebut tidak lepas dari berbagai kegelisahan dan risiko serupa: mulai dari praktik-praktik yang berpotensi bersinggungan dengan cerita traumatis hingga mencari strategi supaya proses materi-materi yang terkumpul tidak menempatkan subjek-subjek (yang terlibat dalam proses) dalam ancaman. Hal-hal ini membuat kami terus mengevaluasi upaya untuk menyediakan ruang aman bagi subjek-subjek arsip, termasuk materi dan cerita-cerita yang mereka donasikan.

Melalui tulisan pendek ini, kami tidak sedang menawarkan konsep yang baku tentang ruang aman–sesuatu yang juga jadi pertanyaan kami: apakah kita bisa dan mungkin membuatnya demikian? Alih-alih, kami ingin memetakan kembali kerja-kerja pengarsipan komunitas di QIA sambil mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan ruang aman dalam proses tersebut.

Kilas balik pengarsipan komunitas di QIA

QIA diinisiasi pada awal tahun 2020, salah satunya, dengan melakukan repatriasi pindaian publikasi komunitas yang dikoleksi Tom Boellstorff selama proses penelitiannya di Indonesia. Dalam proses awal ini, kami meminjam model pengarsipan komunitas yang ditawarkan oleh Michelle Caswell.

Kerangka teoritis tersebut kami pakai untuk merespon kurangnya sumber catatan sejarah dan kisah hidup orang-orang queer di Indonesia. Referensi tentang kehidupan mereka didominasi oleh narasi arus utama yang seringkali terbatas pada logika redaksi media, termasuk dalam memutuskan apa yang penting untuk dibaca dan apa yang tidak. Mereka juga seringkali dituturkan dalam kerangka bahasa cis-heteronormatif, yang pada akhirnya menghilangkan sudut pandang orang-orang queer. Belum lagi ketika berkunjung ke lembaga-lembaga arsip, catatan (yang jumlahnya sedikit dan terbatas) ini tersembunyi dalam kata-kata kunci yang tidak representatif.

Tanpa mengesampingkan peran pencatatan oleh media arus utama dan peran perekaman oleh lembaga arsip (materi-materi mereka kami libatkan untuk mengumpulkan konteks), keterbatasan-keterbatasan tersebut membuat banyak narasi kehidupan komunitas queer tereduksi, tidak terdokumentasi, tidak bisa diakses dengan mudah atau bahkan hilang. Tawaran Caswell menjadi pijakan penting bagi QIA untuk, secara bertahap, mengumpulkan kisah-kisah yang terlewat atau bahkan hilang ini, melestarikan dan merayakannya. Pertanyaannya, bagaimana kami–sebagai sebuah kolektif arsip komunitas–mengumpulkan, melestarikan dan merayakan materi-materi tentang komunitas queer di Indonesia tanpa terjebak pada praktik-praktik yang kembali mengeksklusi mereka?

Pamflet-pamflet dikumpulkan dalam arsip / QIA

QIA menggunakan istilah ‘queer’ untuk menunjukkan minat terhadap materi yang mencerminkan pengalaman orang-orang dengan seksualitas, gender, dan ekspresi gender yang dianggap non-normatif. Istilah yang kami pinjam dari bahasa Inggris ini tidak bertujuan mereduksi keberagaman gender dan seksualitas yang dimiliki masyarakat Indonesia, melainkan untuk membuka kemungkinan atas ragam identitas gender dan seksualitas yang ada, pun praktik-praktik yang berada di sekitarnya.

Pada tahun pertama QIA, kami melakukan pembuatan daftar nama, organisasi, zine dan kejadian dari pindaian publikasi komunitas dan album-album foto yang ada di koleksi awal. Daftar ini kami pakai sebagai data rintisan untuk menentukan orang-orang yang perlu kami hubungi dan konteks keterlibatan mereka. Melalui percakapan dengan aktivis yang berkegiatan di rentang 70-90an, kami juga mendapatkan informasi dan kontak tambahan yang memandu kami kepada nama-nama lain yang bisa kami hubungi.

Kompilasi berisi daftar nama, tahun, tempat dan cerita-cerita yang menyertainya kami susun dalam grafik linimasa. Trajektori-trajektori di dalamnya menjadi bahan yang penting dalam proses kami membuat pameran pertama di awal tahun 2021: Echoes from The Past. Pameran ini sekaligus menandai perayaan publik pertama QIA secara online.

Ruang aman dalam praktik pengarsipan

Dalam mempersiapkan pameran ini, kami bertemu dengan praktik-praktik penyimpanan materi yang dilakukan secara personal, untuk tujuan yang personal juga. Tidak jarang, kami perlu menjelaskan tentang kerja pengarsipan komunitas dan kenapa pendokumentasian foto-foto atau surat-surat yang mereka simpan adalah hal yang penting; mereka menyimpan ingatan tentang situs, orang, kegiatan dan jaringan pengetahuan lain yang dimiliki oleh komunitas queer. Sama seperti waktu pertama kali kami terlibat di QIA, konsep arsip adalah hal baru bagi kebanyakan anggota komunitas, begitu pula membaca materi-materi di dalamnya. Pameran–pembacaan atas materi-materi arsip–yang kami lakukan menjadi salah satu tawaran untuk memperkecil jarak tersebut sekaligus mengenalkan QIA dan kerja pengarsipannya. Pameran ini juga menjadi salah satu cara untuk menghadirkan historiografi sederhana komunitas queer di Indonesia.

Kami juga bertemu dengan beberapa subjek arsip yang tidak merasa nyaman jika materi-materi tersebut menjadi publik. Beberapa materi memuat individu-individu yang tidak terbuka atas identitas gender/seksualitas mereka atau memilih menikah, yang berarti informasi di dalamnya juga tidak bisa dipublikasikan tanpa persetujuan orang-orang terkait. Sebagian subjek khawatir bahwa mendonasikan materi kepada arsip komunitas berarti menyerahkan hak milik dan hak pakai kepada pengelola arsip tersebut.

Meminjam istilah dinamika terbuka-tertutup yang dikenalkan oleh Tom Boellstorff dalam Gay Archipelago (2005) untuk menjelaskan subjektivitas queer, peralihan hak milik dan hak pakai ini berarti kehilangan, salah satunya, pilihan-pilihan kontrol atas siapa-siapa saja yang bisa mengakses materi tersebut, termasuk bagaimana pengakses memakai dan menginterpretasikan pengetahuan-pengetahuan yang tersimpan didalamnya. Dalam kaitannya dengan keamanan, ketidakmampuan untuk menyesuaikan strategi terbuka-tertutup berarti kehilangan fleksibilitas untuk mengambil langkah taktis dan terukur atas materi (dan keamanan) mereka jika terjadi situasi yang mengancam di masa depan.

Hal ini menjadi dasar bagi kami untuk mengadopsi tiga pilihan akses atas materi-materi yang didonasikan oleh subjek: publik, privat dan terbatas. Jika materi-materi privat hanya bisa diakses publik dengan persetujuan QIA, izin akses ke materi-materi terbatas hanya bisa diberikan oleh pemilik (donor) materi. Selain itu, kami juga mengadopsi format informed consent form yang partisipatif dengan melibatkan pertanyaan-pertanyaan terbuka tentang izin penggunaan, syarat khusus untuk mengakses materi, pilihan penyebutan nama, dll. Otoritas atas materi-materi tersebut juga dibagi dengan mempersilakan subjek untuk mengubah kesepakatan jika mereka merasa perlu.

Kerja pengarsipan, khususnya yang berkaitan dengan komunitas, seringkali bersentuhan dengan kerentanan-kerentanan tertentu. Dalam hal komunitas queer di Indonesia, materi-materi fisik yang mereka miliki seringkali tidak terwariskan antar generasi dengan beragam alasan: hanyut bersama banjir, rusak, perpindahan lokasi tinggal yang terlalu sering, sengaja dihilangkan untuk keamanan, perubahan trajektori hidup, dll. Alasan-alasan ini kerap berhubungan dengan terbatasnya pilihan hidup yang memaksa individu queer di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Hal ini membuat materi-materi fisik yang masih terjaga seringkali hanya merepresentasikan kelompok tertentu: orang-orang yang memiliki ruang dan kondisi hidup yang memungkinkan untuk menyimpan koleksi personal.

Ruang aman untuk melestarikan sejarah-sejarah marjinal

Sejak berkenalan dengan sejarah lisan pada akhir 2021, kami memakai pendekatan ini untuk memperkecil jarak tersebut. Melalui rangkaian wawancara, sejarah lisan memungkinkan kami untuk melibatkan ingatan subjek-subjek yang tidak terepresentasi dalam materi-materi fisik (foto, surat, poster, dll), memahami bahasa yang mereka pakai, mendalami dinamika hidup dan memberikan ruang bagi individu queer untuk menarasikan sejarah komunitasnya sendiri. Kami juga mengundang beberapa kolaborator yang memahami komunitas, isu atau area tertentu untuk hadir dalam proses ini.

Kami memulai proses sejarah lisan dengan rangkaian riset awal tentang subjek yang ingin kami dengarkan kisah hidupnya. Proses riset pra wawancara ini penting untuk mendesain panduan yang memberi cukup ruang bagi subjek untuk berbicara tentang ingatan-ingatan yang penting bagi mereka. Alih-alih menjadikannya sebagai proses konfirmasi atas fakta-fakta yang terbentang di dalam koleksi, kami mempersilakan subjek untuk mengarahkan pembicaraan.

Foto dari arsip pribadi Monika c1990s / QIA

Dalam beberapa kesempatan, proses wawancara ini menjadi ruang bagi subjek untuk menceritakan trauma yang mereka alami di masa lalu. Mereka memakai ruang wawancara ini untuk menjadi rapuh. Tidak sedikit yang menjadikannya ruang bergosip, membicarakan kegelisahan-kegelisahan dan konflik saat mereka berada di dalam komunitas. Di saat yang lain, beberapa subjek menceritakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dipercayai oleh pewawancara. Sama seperti subjek, pewawancara juga memiliki bias dan prasangka-prasangka tertentu sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka. Wawancara menghadirkan beragam hal yang terkadang tidak kami antisipasi. Dengan riset dan proses pengenalan awal, kami berusaha membangun kepercayaan dan pemahaman sehingga hal-hal ini dapat didiskusikan dengan empati, berfokus pada kisah hidup subjek alih-alih bertukar penghakiman.

Kami mengakhiri proses wawancara dengan refleksi bersama tim. Selain mengevaluasi proses wawancara, dalam refleksi ini kami menyampaikan rasa haru, gembira, ketidaksetujuan, kegelisahan dan perasaan-perasaan lain yang muncul. Memetakan perasaan dan mengkomunikasikannya dalam tim kami pakai sebagai salah satu upaya menavigasi konsekuensi emosional yang muncul dari wawancara.

Masih banyak ruang pengarsipan yang belum terpetakan dalam tulisan ini, begitu juga celah-celah yang perlu kami perbaiki dalam kerja-kerja yang tertulis dalam artikel ini. Kami sadar bahwa ruang aman tidak bisa tercipta hanya melalui panduan atau kebijakan tertulis, pun bahwa kebutuhannya tidak bisa diseragamkan.

Sidhi Vhisatya adalah sukarelawan kurator dan pengelola program di Queer Indonesia Archive (QIA).

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Inside Indonesia 151: Jan-Mar 2023

Related Articles

Reformasi izin penelitian asing

Ada banyak hal yang saya sukai tentang penekanan pada etika, otonomi, dan desentralisasi yang mendasari prosedur baru bagi peneliti asing yang bekerja di Indonesia. Namun, ada juga bahaya nyata yang didorong oleh peraturan ini.

Politik pengetahuan pascareformasi

Paradigma keterbukaan dan transparansi merupakan inti dari reformasi di Indonesia. Komponen utama dari proses demokrasi adalah penelitian dan pendidikan. Universitas memainkan peran penting dalam melakukan penelitian dan mendidik mahasiswa untuk berkontribusi dalam debat publik. Seperti yang ditunjukkan oleh setiap kontributor Inside Indonesia edisi ini, prinsip-prinsip ini telah tergerus oleh liberalisasi sektor penelitian di satu pihak dan peningkatan tendensi kontrol dan sensor di pihak lain.

Dari demokrasi terpimpin ke sains terpimpin?

Jalan ilmu pengetahuan adalah jalan yang baik untuk semua bangsa. Apalagi untuk bangsa besar seperti Indonesia. Ilmu pengetahuan juga jalan terbaik untuk menjaga keberagaman, sesuai Bhinneka Tunggal Ika. Karena ilmu pengetahuan dapat memberi kriteria-kriteria objektif dalam, misalnya, seleksi kepempimpinan sehingga kita terhindar dari sektarianisme berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Tapi sepertinya kita sedang meninggalkan jalan ilmu pengetahuan juga. Demokrasi terpimpin mengharuskan kepatuhan semua, termasuk para ilmuwannya.

Bertukar makna, bertaut energi

Siapa yang memiliki hak atas pengetahuan dan pengalaman yang dibagi sebagai produksi pengetahuan dalam temuan penelitian? Apakah sepenuhnya milik peneliti? Lantas, siapa yang akan didudukkan sebagai peneliti, ketika semua partisipan di dalamnya saling mengurai gagasan?